CEO Dubai International Financial Centre Arif Amiri.
ORANG-ORANG tampak berseliweran dari satu gerai fesyen ke gerai lainnya, dari Givenchy ke Burberry. Di satu sudut, seorang gadis berparas Timur Tengah kebingungan memilih baju tidur merah jambu atau krem bikinan La Vie en Rose. Ada pula pemuda yang sibuk menjajal sneaker Lennon dari Kurt Geiger. Tidak masalah, mereka punya uang untuk itu semua.
Hari itu, Mall of the Emirates –pusat perbelanjaan termegah Asia yang berlokasi di Dubai– tetap beroperasi penuh meski sang pemilik, Majid Al Futtaim dikabarkan meninggal dunia pada malam sebelumnya. Triliuner itu meninggalkan harta bernilai raksasa yang tersebar di 17 negara, termasuk 13 hotel, 29 mal, dan 375 jaringan supermarket Carrefour. Belum lagi bisnis lain di bidang energi.
Juru bicara grup perusahaan menyampaikan kabar duka secara resmi. Majid Al Futtaim meninggal dunia di usianya yang ke-87 pada 17 Desember 2021 tanpa ada penjelasan mengenai penyebabnya. Sontak, semua media besar di Uni Emirat Arab (UEA) dan Timur Tengah memberitakan berpulangnya Futtaim.
Sosok Futtaim telanjur lekat dengan kemajuan ekonomi Dubai dan UEA. Dirinya punya kontribusi besar dalam membawa Dubai dari sekadar pelabuhan kecil di ujung timur Teluk Persia menjadi pusat ekonomi terbesar di Semenanjung Arab.
Namun, isu paling krusial atas kematian Futtaim muncul belakangan. Futtaim meninggal dunia tanpa kejelasan tentang warisan. Akibatnya, 10 orang, termasuk tiga istri, satu putra, dan enam putri, mengeklaim harta dan aset yang ditinggalkan Majid Al Futtaim senilai US$16,1 miliar atau lebih dari Rp270 triliun.
Polemik tentang harta warisan ini berbuntut panjang. Penguasa Dubai sekaligus Perdana Menteri UEA Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum ikut turun tangan dengan membentuk komite peradilan khusus untuk menyelesaikan perkara ini. Komite bertugas menengahi para pemegang saham sekaligus melindungi perekonomian Dubai serta UEA.
Ikut campurnya negara dalam urusan warisan itu bukan tanpa alasan. Grup perusahaan Majid Al Futtaim merupakan aset besar bagi Uni Emirat Arab. Bisnis keluarga Futtaim menyumbang 40 persen nilai perekonomian UEA dan menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
Kegaduhan di dalam keluarga Futtaim merupakan akibat dari ketidaksiapan pewaris dan perusahaan keluarga dalam mengelola aset. Lebih jauh, bisnis keluarga juga ternyata belum menyiapkan skenario yang matang tentang suksesi atas aset dan harta kekayaan (warisan).
Kejadian yang menimpa Futtaim dan keturunannya ini menjadi pembelajaran yang penting bagi pemimpin Dubai. Perebutan warisan sangat mungkin terjadi pada keluarga-keluarga konglomerat lainnya di Timur Tengah, termasuk Dubai. Masalahnya, perselisihan antara anggota keluarga triliuner ini bisa berujung pada goyahnya perekonomian negara. Gonjang-gonjing yang melanda sebuah grup keluarga juga berimbas terhadap kepercayaan investor.
Belajar dari apa yang terjadi pada 2021 lalu, kepastian suksesi aset di dalam sebuah bisnis keluarga kini menjadi perhatian baru bagi pemerintah Uni Emirat Arab. Sebagai salah satu solusi, pada 2023 lalu amir Dubai meresmikan Family Wealth Centre di kawasan Dubai International Financial Centre (DIFC). Organisasi tersebut akan melayani pendaftaran kantor keluarga alias family office bagi entitas milik keluarga dengan aset bersih minimum US$50 juta.
Family office sendiri sebetulnya sudah banyak berdiri di Dubai selama ini. Hanya saja, keberadaan Family Wealth Centre secara resmi oleh pemerintah diharapkan makin memudahkan keluarga-keluarga kaya yang ingin mendirikan family office.
Layanan yang diberikan kepada family office mencakup jasa konsultasi, pelatihan, pendampingan, penyelesaian sengketa, serta manajemen aset dan kekayaan. Family office, salah satunya, akan bertugas memastikan suksesi aset dan harta kekayaan di dalam sebuah bisnis keluarga berjalan mulus. Ini memastikan insiden perebutan warisan Futtaim tidak terulang.
"Keluarga ultra-kaya perlu memperoleh layanan family office dengan tingkat privasi tinggi," kata CEO Dubai International Financial Centre Arif Amiri ketika meluncurkan Family Wealth Centre.
Uni Emirat Arab selama ini menjadi 'rumah' bagi keluarga ultra-kaya di Timur Tengah dan dunia. Laporan Waheed Abbas pada 2020 menyebutkan, 10 besar keluarga terkaya di Uni Emirat Arab mempekerjakan lebih dari 600.000 orang di seluruh dunia, dengan kekayaan bersih melebihi US$31 miliar.
Tak cuma itu, sebanyak 35.000 orang yang termasuk dalam high-net-worth-individuals (HNWI) tercatat telah bermigrasi ke UEA dalam 20 tahun terakhir. Nilai kekayaan mereka, jika ditotal, mencapai lebih dari US$517 miliar.
Dubai, melalui pendirian DIFC, menawarkan rezim pajak yang dianggap menguntungkan bagi pendirian family office. UEA tidak mengenakan pajak terhadap capital gain dan dividen. Hal ini menjadi satu nilai plus bagi para keluarga ultra-kaya yang ingin mendirikan family office.
Dubai juga menandatangani Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan sejumlah negara. Tidak adanya pajak warisan dan kekayaan menjadi daya tarik lain bagi keluarga kaya untuk mengelola asetnya di Dubai.
Menariknya, pemerintah Uni Emirat Arab melalui DIFC mencoba 'mengarahkan' pengelolaan investasi family office ke sektor properti. Arabian Bussiness, dalam salah satu artikelnya, menyebutkan bahwa banyak manajer investasi yang bekerja di family office mencoba mengarahkan penanaman modal ke real estat.
Investasi di sektor properti menjadi cukup menarik mengingat kawasan Teluk akhir-akhir ini menghadapi anomali cuaca yang ekstrem. Pengusaha properti di Uni Emirat Aab kini mulai ramai menawarkan hunain tahan terhadap segala cuaca kepada keluarga-keluarga kaya.
“Dubai –dan juga banyak wilayah lain di Teluk Persia– menghadapi tantangan berat dari musim panas yang terik, ancaman naiknya permukaan air laut, dan banjir,” tulis Arabian Bussiness.
Layanan family office di Dubai memiliki ceruk pasar yang luas dan beragam. Dubai kini menjadi pesaing Hong Kong dan Singapura di Asia, serta Swiss di Eropa yang telah lama menjadi pemain utama dalam menggaet keluarga-keluarga super kaya dalam menyimpan hartanya.
Dari sisi geografis, Dubai berpotensi menjadi wadah pembentukan family office bagi keluarga kaya di Timur Tengah, Afrika, dan Asia.
Isu pembentukan family office ini mulai terdengar di Indonesia. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan secara tiba-tiba mengemukakan idenya untuk membangun layanan family office di Indonesia. Luhut memilih Bali sebagai lokasi tepat untuk mempersilakan keluarga-keluarga super kaya mewujudkan family office-nya.
Tujuannya apa? Tentu saja menarik dana kelolaan yang bisa mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat. Aliran dana kelolaan yang masuk ke Tanah Air sekaligus menambah tebal cadangan devisa.
Barangkali ide Luhut untuk membuka pintu family office patut untuk dipelajari. Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu diantisipasi pemerintah jika keluarga kaya bebas mengelola aset dan hartanya di Indonesia.
Salah satu yang disorot, jaminan mengenai transparansi pengelolaan dan potensi praktik pencucian uang. Perlu diingat, Indonesia telah secara resmi masuk sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF) pada April 2024. Artinya, Indonesia berkomitmen dalam melawan praktik pencucian uang. Tujuannya, meningkatkan kepercayaan investor atas perekonomian Indonesia.
Jika disandingkan dengan pembentukan family office, tujuannya sama-sama mulia: mengundang lebih banyak modal agar masuk ke Indonesia. Karenanya, pemerintah perlu menyusun dengan matang strategi pengawasan terhadap pengelolaan family office agar tidak memberikan celah bagi praktik pencucian uang.
Berkaca pada Uni Eropa, ada Anti-Money Laundering (AML) EU Directive yang berisi arahan bagi setiap negara anggota terkait dengan upaya perlawanan terhadap pencucian uang, termasuk dalam hal pendirian family office. Melalui arahan tersebut, setiap negara diwajibkan memberikan daftar terpusat mengenai kepemilikan manfaat pada family office. Data itu perlu disampaikan kepada lembaga intelijen dan instansi pengawasan transaksi keuangan di masing-masing negara.
Mengutip aktor Amerika Serikat, Chris Rock, kekayaan bukan tentang punya banyak uang, melainkan tentang punya banyak pilihan. Family office bisa menjadi tambahan pilihan bagi pemilik modal untuk mengalirkan dananya ke Indonesia. Namun, pemerintah tidak boleh buru-buru karena ini kebijakan baru. (sap)