Tugu Mandeh Siti Manggopoh di Simpang Gudang, Lubuk Basung, Agam, Sumatra Barat.
SAAT Soetomo dan kawan-kawannya para mahasiswa kedokteran Stovia di Batavia sedang ropat-rapat membahas pendirian organisasi Boedi Oetomo, sebuah kesibukan terjadi di Kota Bukittinggi, Afdeeling Agam, Sumatera Westkust—sekitar 95 km ke arah timur Kota Padang.
Hari itu, 16 Maret 1908, Pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan warga Agam. Dipimpin Kontrolir L.C. Westenenk, pemerintah memanggil laras (kepala wilayah), pemimpin adat (penghulu), lurah (kepala nagari), para cerdik pandai (manti), dan petugas keamanan (dulubalang).
Pemerintah melakukan sosialisasi kebijakan baru, penerapan pajak (belasting). Beberapa kepala nagari, seperti Air Bangis, Painan, Padang Panjang, juga Manggopoh, hadir dalam pertemuan itu. Pajak tersebut berlaku mulai 1 Maret 1908, tarifnya rata-rata 2%.
Ada beberapa pajak baru yang diperkenalkan, antara lain pajak kepala (hoofd), pemasukan barang (inkomsten), rodi (hedendisten), tanah (landrente), keuntungan (wins), rumah tangga (meubels), penyembelihan (slach), tembakau (tabak), dan pajak rumah adat (huizen).
Penerapan pajak itu diharapkan dapat mengisi kembali kas pemerintah, mengingat pemasukan dari komoditas ekspor sedang lesu seiring turunnya harga di pasar Eropa. Kebijakan tersebut dirilis Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 21 Februari 1908, berlaku se-Hindia Belanda.
Namun, sosialisasi itu tidak lancar. Beberapa laras dan kepala nagari memprotes keras kebijakan tersebut. Mereka berkeras pajak itu tidak akan efektif. Apalagi pajak penyembelihan hewan kurban, serta tanah dan tanaman kopi, tanaman utama di kawasan Agam sejak Cultuurstelsel.
Mereka juga mengingatkan 75 tahun lalu saat Perang Paderi, Pemerintah Hindia Belanda melalui Plakat Panjang (1833) sudah menyatakan tidak akan ada lagi pemungutan pajak, dan meminta masyarakat memperluas penanaman kopi. Kini, tanaman kopi pun akan dipajaki.
Tidak hanya protes, beberapa nagari bahkan mengeluarkan resolusi penentangan. Sebagian menolak datang memenuhi undangan sosialisasi. Ada juga yang unjuk rasa ke kantor Asisten Residen di Bukittinggi. Mereka merobek-robek blanko pembayaran pajak pemerintah kolonial.
Dengan sosialisasi yang tidak lancar itu, tidak ada pilihan bagi pemerintah kolonial. Kebijakan harus diamankan, karena itu perlu dilakukan paksaan. Pada akhir Maret itu juga, sepasukan militer kavaleri Belanda masuk ke Manggopoh, 60 kilometer ke arah utara Kota Bukittinggi.
Pasukan ini turun ke daerah untuk mengamankan kebijakan pajak. Setelah mengelilingi kampung, pasukan itu menuju Ketinggian, di Bukit Bunian Berpuncak Tujuh, sekitar 2 kilometer dari Pasar Manggopoh. Di situ mereka mendirikan markas dan menempatkan 55 orang.
Di markas militer tersebut, pasukan itu mulai berulah. Mereka sering mabuk-mabukan, berjudi, dan juga memperkosa perempuan. Tindakan semena-mena itu dilihat oleh seluruh warga Manggopoh. Namun, mereka tidak berani mengingatkan, apalagi melawan.
Siti, 28 tahun asal Manggopoh, juga menyaksikan itu semua. Tak tahan, ia dan suaminya Rasyid Bagindo Magek mendatangi ulama guna meminta fatwa, bagaimana kalau ia memeranginya. Siti menemui Mak Luma, Abdul Gafar, dan Abdul Manan, ulama yang banyak pengikutnya.
Bukan hanya merestui perang, tiga ulama itu ternyata mendukung Siti. Mereka membantu menyiapkan keris, ruduih dan ladiang (parang dan golok). “Pajak ini menyalahi adat,” kata Siti. “Belasting ini menginjak harga diri kita. Tanah adat itu kita miliki secara turun temurun!”
Siti lalu mengorganisir pasukan yang kebanyakan terdiri atas pemuda. Namanya Rombongan 17. Mereka berlatih, mengintai, menyamar, rapat, dan merumuskan strategi. “Jumlah mereka 55 orang. Di sana ada 55 pucuk senjata api,” kata Siti seraya menggambar denah markas militer itu.
Pada 16 Juni 1908, sehari setelah Perang Kamang, Rombongan 17 berkumpul. Ada di antaranya Ali dan Rasyid, yang ikut Perang Kamang yang juga memprotes kebijakan pajak itu. Jelang tengah malam, mereka memutuskan menyerang. Ali yang kali pertama masuk ke markas Belanda.
“Saat masuk kamar letnan, Ali dicekik sang letnan sampai matanya mendelik,” kenang Mandeh Siti—begitu perempuan ini dipanggil ketika sudah tua—seperti dikisahkan Abel Tasman, Nita Indrawati, Sastri Yunizarti Bakry dalam Siti Manggopoh (2003).
Siti pun bergerak. Dihantamnya bahu letnan dengan parang. Letnan balik menyerang. Rambut Siti yang panjang dijambak dan dikalungkan ke leher. Siti menyambar lampu kamar letnan. Padam. Sejurus kemudian, letnan berteriak. Parang Siti telah bersarang di perut letnan.
Pembantaian lalu dimulai. Rombongan 17 terlatih dalam gelap. Satu persatu serdadu Belanda tewas. Sebanyak 53 dari 55 serdadu Belanda yang bermarkas di Manggopoh terbunuh. Namun, Siti juga tertembak di punggung. Serdadu yang melarikan diri melapor ke Bukittinggi.
“Dalam keadaan luka saya langsung pulang ke rumah orang tua. Kedua anak, saya titipkan di sana. Dalima yang masih bayi langsung saya susui. Si Yaman, anak laki-laki saya rebahkan kepalanya di paha saya. Dia minta dibelai,” kenangnya dalam satu acara Kartinian, 55 tahun kemudian.
Tak berselang lama, Belanda pun melakukan pembalasan, membumihanguskan Manggopoh sekaligus menyiksa warganya. Tak tahan melihat penderitaan warganya, Siti akhirnya menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi warga Manggopoh yang disakiti.
Siti ditahan di penjara Lubuk Basung 14 bulan. Lalu pindah ke Pariaman 16 bulan dan Padang 12 bulan. Saat disidang, hakim bertanya, “Apakah kamu menyesal?” Lantang Siti menjawab, “Ya, menyesal. Saya menyesal karena tidak semua Belanda yang ada di markas itu terbunuh.” (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.