ABU YUSUF:

'Pajak Hanya untuk Harta yang Melebihi Kebutuhan'

Redaksi DDTCNews
Senin, 21 Januari 2019 | 18.34 WIB
'Pajak Hanya untuk Harta yang Melebihi Kebutuhan'

IA lahir pada 731 Masehi (M) di Kufah, 170 km arah selatan Kota Baghdad, Irak. Sewaktu masih kanak, ayahnya meninggal. Kemudian ia tinggal bersama ibunya. Hidup dalam impitan kemiskinan, ibunya terpaksa menyerahkannya ke istana untuk dipelihara negara.

Tapi ia bengal. Tak lama setelah itu, ia melarikan diri dari istana, mengikuti kelompok pengajian yang diasuh Abu Hanifah, Imam Besar Madzhab Hanafi yang tinggal di Kufah. Sang Imam iba atas keadaan yang menimpa keluarganya, lalu memutuskan untuk membiayainya.

Saat itu, Kufah adalah sentrum peradaban Islam, sekaligus pusat administrasi dan militer sejak Sayyidina Ali memindahkan pemerintahannya dari Madinah pada 656 M. Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) yang menggeser Muawiyah (661-750 M) awalnya juga beribukota di sini.

Tak hanya itu, Kufah juga jadi tempat tukar pikiran berbagai ilmu. Sentrum penafsiran Quran dan pembukuan Hadist ada di sini. Tak heran, di kota ini pula lahir sejumlah ilmuwan seperti Imam Hanafi (699-767 M), ahli kimia Abu Musa (721-815 M), dan filsuf Al Kindi (801-873 M).

Memang, Islam pada abad ke-8 itu adalah Islam yang berlari. Di satu sisi, terjadi pergolakan politik akibat pergantian dinasti kekhalifahan. Di sisi lain, justru pada masa tersebut peradaban Islam mencapai masa puncak keemasannya, ditandai kemajuan di berbagai bidang.

Pada abad itu, Dinasti Umayyah yang kalah perang membangun pemerintahannya secara terpisah di Kordoba, Spanyol (750-1031 M). Sementara, Dinasti Abbasiyah memindahkan ibu kota kekhalifahannya dari Damaskus (Suriah) ke Kufah, kemudian ke Baghdad.

Pada kota yang disebut terakhir inilah, terutama pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M), ilmu pengetahuan berkembang pesat. Di Baghdad, pusat riset, perpustakaan, sarana pendidikan, kesenian, kesehatan, dan perdagangan, semua didirikan.

Dalam ingar seperti itu pula, Ya’kub bin Ibrahim bin Habib bin Khunains bin Sa’ad Al-Anshari, atau lebih dikenal dengan Abu Yusuf, yang semasa hidupnya mengalami 10 kali pergantian khalifah—5 pertama dari Dinasti Muawiyyah, 5 terakhir dari Abbasiyah—menulis Al Kharaj.

Ia menulis buku kebijakan fiskal dan keuangan publik tersebut, atau secara lebih spesifik perpajakan, atas permintaan Khalifah Harun agar negara mengelola kas negara dengan baik. Padahal, ia sendiri adalah seorang hakim agung (qadhi al-qudhat) yang memimpin mahkamah.

“Uang negara bukan milik khalifah, tapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab,” katanya dalam al-Kharaj, “Karena itu, pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat, dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.”

Pada banyak hal di Al Kharaj, Abu Yusuf menegaskan perlunya tanggung jawab ekonomi penguasa. Ia merekomendasikan agar negara mengambil pajak proporsional dari hasil pertanian ketimbang memungut sewa. Hal itu lebih adil karena mendorong perluasan areal tanam.

Ia menggarisbawahi perlunya pertimbangan kemampuan membayar, kemudahan wajib pajak dan administrasi pajak. Ia juga menekankan pengembangan infrastruktur sosial ekonomi dan menekankan peran pasar bebas dalam batasan sesuai syariah Islam. (Ghazanfar, 2003)

Ia menentang penetapan harga oleh negara, meski intervensi mungkin diperlukan guna mengatur pasar dan melindungi warga dari monopoli, penimbunan dan praktik korupsi lain. Ia juga mendorong proyek-proyek untuk mempromosikan ekonomi perdesaan.

Alih-alih memeriksa penerimaan dan pengeluaran negara dari perspektif sempit, ia menganggap negara sebagai jalan utama untuk mempromosikan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi. Ia menganggap negara sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Atas rekomendasi Abu Yusuf itulah, Khalifah Harun memanfaatkan uang kas negara untuk membangun pusat-pusat ekonomi, sekaligus memberi gaji tinggi pada ulama dan ilmuwan, dan insentif untuk mereka yang menghasilkan karya ilmiah atau penemuan.

Abu Yusuf, hakim agung pertama yang menguasai fiqih, hadist, dan ekonomi ini akhirnya meninggal pada 798 M. Kita agaknya tahu kenapa Khalifah Harun sendiri turut mengiringi jenazahnya, dari mulai menyalati hingga mengurus permakamannya. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.