Mahathir Mohammad
SEJAK dahulu, politik dan pajak ibarat dua simpul tali yang saling terhubung dan tak terpisahkan. Wajah keduanya saling mewakili. Pola relasinya saling tarik menarik. Apa yang terjadi dengan politik akan terlihat jejaknya di pajak. Begitu pula sebaliknya.
Tak terkecuali di Malaysia. Apalagi di tangan seseorang yang keras kepala, yang memegang rekor terlama sebagai perdana menteri. Sang mentor segala mentor, the bad boy, Sukarno Kecil, dr. M, yang dengan enteng menghardik IMF dan Washington, Tun Dato’ Seri Mahathir Mohammad.
Siapa yang tak kenal dokter yang tak punya urat takut ini. Karena kepemimpinannya-lah terutama, Malaysia bisa lolos sekaligus pulih paling cepat dari hantaman krisis moneter 1998, ketimbang negara-negara tetangganya yang terseok-seok hingga beberapa tahun berikutnya.
Dan kini dr. M telah kembali. Usianya boleh 92 tahun. Tapi ia masih naik kuda, menulis blog, dan yang terpenting: Berbicara tentang reformasi, mengumpulkan jutaan paraf petisi, menyatukan partai oposisi, dan memimpin partai politik baru yang siap berlaga di Pemilu 2018.
Tentu saja proses kembali seperti itu tidak pernah mudah. Zaman sudah berubah. Beberapa survei terkini menunjukkan koalisi Barisan Nasional yang berkuasa masih jauh memimpin. Isu korupsi yang menerpa PM Najib Razak belum signifikan memengaruhi preferensi mayoritas pemilih.
Begitu pula dengan isu pajak. Meski dr. M menyerang habis kebijakan PM Najib yang memangkas pajak penghasilan badan dan menerapkan good and services tax (GST, sejenis pajak pertambahan nilai) pada 2015, mayoritas pemilih Malaysia bergeming. PM Najib tak hendak terguling.
Menurut dr. M, untuk menggenjot penerimaan, mestinya pemerintah menaikkan PPh badan, bukan malah menurunkan tarifnya dari 27% menjadi 24% dan mengenakan GST 6% ke rakyat hingga menekan konsumsi yang pada gilirannya membuat perekonomian lembam.
“Sekarang berapa banyak perusahaan dan bank yang untung? Beberapa bahkan untung RM2 miliar lebih. Lalu kenapa pemerintah malah memeras rakyat? Ambil uang pajaknya dari bank-lah, dari perusahaan, bukan dari kantong rakyat,” kata dr. M dalam satu wawancara tahun lalu.
Argumentasi itu mungkin punya kelemahan, termasuk dirinya sendiri. Berbagai media mainstream pro PM Najib mengeksploitasi habis bagaimana Mirzan, anak Mahathir, mengendalikan perusahaan di Singapura dan British Virgin Island yang diduga dimanfaatkan untuk menggelapkan pajak.
Namun, meski di serang sana-sini seperti itu, termasuk di antaranya dilakukan dengan memeriksa pajak sanak familinya, tetap saja Mahathir tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Sejak PM Najib menerapkan GST pada 2015, perlawanan dr. M justru malah semakin solid.
Dr. M, yang tahun lalu keluar dari United Malays National Organisation (UMNO)—partai terbesar Malaysia yang dibesarkan dan membesarkannya—malah menjadikan penolakan GST itu sebagai salah satu program utama partai barunya, Malaysian United Indigenous Party (PPBM).
“Tak ada gunanya lagi jadi anggota UMNO. Ketika seorang pemimpin telah mengkhianati partai, dan dia tidak bisa diganti, maka opsi yang tersedia hanyalah keluar dari partai itu,” ujarnya di hadapan 10.000 orang lebih dalam acara deklarasi PPBM di Stadion Malawati, Shah Alam (15/7).
Lalu, akankah Mahathir Mohammad, little Sukarno ini, bisa kembali eksis dan berhasil membalikkan keadaan? Akankah karir politiknya khusnul khotimah sebagai Bapak Bangsa Malaysia, atau malah sebaliknya, dicap sebagai pemberontak? Waktu yang akan menjawab. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.