SURAT paksa merupakan surat yang berisi perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajaknya. Otoritas pajak dapat melakukan penagihan pajak terhadap penanggung pajak bila belum melunasi utang pajak setelah melewati batas waktu 21 hari sejak diserahkannya surat teguran.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (PMK 24/2008).
Dalam surat paksa, ditetapkan bahwa penanggung pajak harus sudah melunasi utang pajaknya dalam waktu 2x24 jam terhitung sejak diberitahukannya surat paksa kepadanya. Selain itu, penanggung pajak juga tidak dapat mengajukan banding terhadap surat paksa karena telah memiliki kekuatan hukum.
Lantas, apakah yang akan terjadi jika penanggung pajak masih belum juga melunasi utang pajaknya sampai batas waktu yang ditentukan? Berikut penjelasannya.
Pertama, penyitaan. Apabila penanggung pajak masih belum melunasi utang pajaknya melewati batas waktu yang ditentukan, yaitu 2x24 jam, pejabat akan menerbitkan surat perintah untuk melaksanakan penyitaan. Penyitaan ini dapat dilakukan terhadap barang-barang milik penanggung pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) PMK 24/2008.
Adapun berdasarkan pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP), penyitaan diartikan sebagai tindakan yang dilaksanakan oleh juru sita pajak untuk menguasai barang milik penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Penyitaan dilaksanakan sampai nilai barang yang telah disita dari penanggung pajak dianggap telah cukup oleh juru sita pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Tindakan tersebut dapat dilakukan baik di tempat usaha, tempat kedudukan, tempat tinggal penanggung pajak yang bersangkutan, maupun tempat-tempat lain yang diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UU PPSP, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik penanggung pajak yang diantaranya meliputi pertama, barang bergerak seperti mobil, uang tunai, deposito berjangka, obligasi saham, penyertaan modal pada perusahaan lain, dan sebagainya. Kedua, barang tidak bergerak seperti tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Apabila penanggung pajak berbentuk badan, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal. Pelaksanaan penyitaan dapat dilakukan baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain.
Kedua, penyanderaan. Tidak hanya penyitaan, otoritas pajak juga memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan paksa lain apabila penanggung pajak dinilai tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utang pajak. Dalam hal penanggung pajak belum melunasi utang pajak setelah melewati waktu 14 hari sejak diberitahukannya surat paksa, otoritas pajak dapat melakukan tindakan penyanderaan.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PP 137/2000), penyanderaan didefinisikan sebagai tindakan pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Otoritas pajak dapat memerintahkan kepada juru sita pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap penanggung pajak. Akan tetapi, penyanderaan ini hanya boleh dilakukan terbatas pada penanggung pajak yang memiliki utang pajak sekurang-kurangnya Rp100 juta rupiah.
Tindakan penyanderaan harus dilakukan dengan surat perintah penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah memperoleh izin tertulis. Izin tertulis ini dapat berupa izin dari menteri keuangan (untuk penagihan pajak pusat) ataupun izin dari gubernur (untuk penagihan pajak daerah). Permohonan izin tersebut diajukan oleh pejabat atau atasan pejabat kepada menteri keuangan untuk penagihan pajak pusat atau kepada gubernur untuk penagihan pajak daerah.
Selama pelaksanaannya, penanggung pajak akan ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat penyanderaan. Adapun tempat penyanderaan ini harus memenuhi syarat yaitu tertutup dan terasing dari masyarakat dengan fasilitas yang terbatas serta memiliki sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai. Penyanderaan terhadap penanggung pajak dilakukan paling lama dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak penanggung pajak ditempatkan dan dapat diperpanjang paling lama enam bulan.
Ketiga, pencegahan. Tindakan lain yang dapat dilakukan otoritas pajak terhadap penanggung pajak setelah pemberitahuan surat paksa adalah tindakan pencegahan. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak (SE 09/2020), pencegahan didefinisikan sebagai larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Seperti halnya penyanderaan, tindakan pencegahan hanya terbatas pada utang pajak dengan batasan tertentu. Adapun tindakan pencegahan hanya dapat dilaksanakan kepada penanggung pajak yang mempunyai jumlah utang pajak paling sedikit Rp100 juta dan diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajaknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan umum SE-09/2020.
Selain itu, SE-09/2020 juga mengatur tentang tata cara pengajuan usulan pencegahan. Usulan untuk melakukan tindakan pencegahan harus disampaikan oleh KPP terlebih dahulu kepada Dirjen Pajak dalam hal ini Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Usulan tersebut harus disertai dengan tembusan kepada Kepala Kanwil DJP serta melampirkan berita acara gelar perkara pencegahan. (faiz)*