PANDEMI Covid-19 telah memberikan tekanan yang luar biasa terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali di Indonesia. Namun, ketika banyak sektor bisnis yang terpuruk selama pandemi, pendapatan pelaku usaha di sektor bisnis digital justru meningkat pesat.
Meningkatnya pendapatan pelaku usaha di sektor bisnis digital ini menjadi pemantik terjadinya akselerasi penerapan bisnis digital dan layanan digital dari berbagai bidang, baik pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi yang saat ini ditransformasikan menjadi bisnis digital.
Pengenaan pajak terhadap bisnis digital dapat menjadi potensi untuk menambah penerimaan di negara berkembang dan menjadi salah satu pilihan untuk mendanai pemulihan ekonomi global akibat pandemi Covid-19.Â
Pemajakan atas ekonomi digital sebenarnya telah dibahas secara luas dalam dekade terakhir. Namun, OECD hingga saat ini masih belum mampu menghasilkan konsensus dari kerangka kerja internasional tentang perpajakan ekonomi digital.
Topik mengenai pendekatan pemajakan digital di negara berkembang diuraikan secara komprehensif pada publikasi ilmiah yang berjudul Three Approaches to Taxing Income from the Digital Economy – Which Is the Best for Developing Countries?. Jurnal tersebut disusun oleh Melanie Dewi Astuti.
Dalam jurnal yang dirilis pada 2020 tersebut, penulis memberikan panduan untuk negara berkembang dalam mengenakan pajak atas ekonomi digital berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari pendekatan-pendekatan yang ada.
Pada Oktober 2019, Sekretariat OECD memperkenalkan proposal unified approach yang dirancang untuk konsensus global. Cetak biru mengenai unified approach diriliis pada 12 Oktober 2020. Berkenaan dengan konsensus global, sebuah pernyataan resmi dikeluarkan oleh negara-negara anggota BEPS Inclusive Framework yang mengonfirmasi perpanjangan perjanjian konsensus pada pertengahan tahun 2021.
Sementara itu, ketidakmampuan aturan saat ini dalam memberikan keadilan terkait dengan perpajakan ekonomi digital dan konsensus global yang belum disepakati menyebabkan beberapa negara telah menerapkan langkah-langkah unilateral yang memungkinkan market country untuk mengenakan pajak dari ekonomi digital (DST) demi mengamankan basis pajaknya.
Selanjutnya, ketika OECD memperkenalkan Pilar 1: Unified Approach dan beberapa negara telah mengadopsi DST, UN telah memperkenalkan proposal untuk menambahkan Pasal 12B ke UN Model dengan tujuan memberi solusi perpajakan atas ekonomi digital.
Memajaki ekonomi digital yang keuntungannya cenderung naik selama pandemi covid-19 dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan basis pajak suatu negara. Namun, aturan-aturan yang ada saat ini tidak memberikan hak pemajakan bagi market country tanpa adanya physical presence sehingga tidak menguntungkan market country di negara berkembang, seperti Brazil, India, dan Indonesia.
Untuk itu, negara berkembang perlu merancang pemajakan digital untuk menciptakan level playing field. Terdapat tiga strategi pendekatan yang dapat dipertimbangkan oleh negara berkembang untuk memajaki pendapatan yang berasal dari ekonomi digital.
Pertama, Pilar 1: Unified Approach. Proposal ini dapat menjadi salah satu solusi terbaik mengingat akan diterapkan melalui konvensi multilateral. Namun, keberhasilan untuk memajaki ekonomi digital di negara berkembang akan tergantung pada desain elemen kunci proposal yang komponennya banyak yang belum disepakati.
Selain itu, negara berkembang juga akan menghadapi tantangan penerapan unified approach karena kompleksitasnya. Unified approach seharusnya dilaksanakan dengan cara yang sederhana karena negara-negara berkembang kekurangan sumber daya untuk mengelola rezim pajak semacam itu.
Selain itu, arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa yang mengikat secara multilateral seharusnya juga tidak boleh dimasukkan dalam implementasi unified approach karena tindakan tersebut dapat menimbulkan tantangan yang signifikan bagi negara-negara berkembang.
Kedua, Draf Pasal 12B UN Model. Proposal ini berpotensi memiliki hasil yang lebih baik bagi negara-negara berkembang karena dapat memberikan penerimaan pajak yang lebih banyak dan lebih sederhana dibandingkan dengan Unified Approach. Permasalahan terkait pemajakan berganda dan penyelesaian sengkata dapat diselesaikan melalui ketentuan perjanjian antarnegara yang berlaku.
Namun, negosiasi bilateral ini juga akan menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang karena akan memakan waktu dan biaya mengingat luasnya jaringan perjanjian yang dimiliki banyak negara. Pada prinsipnya, draf tersebut dapat dipertimbangkan terutama untuk negara yang tidak menandatangani konvensi multilateral untuk menerapkan proposal pilar satu.
Ketiga, Digital Services Tax (DST). Mengingat konsensus global yang mungkin belum akan terwujud dalam waktu dekat, DST dapat menjadi solusi cepat dan menengah bagi negara berkembang karena implementasinya hanya membutuhkan perubahan dalam hukum domestik suatu negara.
Perlu diperhatikan, sebelum menerapkan DST, negara berkembang perlu menerapkan analisis biaya dan manfaat sehubungan dengan potensi penerimaan pajak ketimbang risiko pembalasan dari negara lain selaku penerima penghasilan dari layanan digital.
Penerapan analisis ini juga diutamakan untuk negara berkembang yang memberikan lebih banyak ekspor ketimbang impor dari negara asal bisnis digital. Penerapan DST ini dinilai bisa menjadi solusi sementara. Namun, penerapan DST harus dihentikan setelah konsensus global tercapai.
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan ketentuan mengenai pajak transaksi elektronik (PTE) yang serupa dengan DST. Ketentuan mengenai PTE tersebut diatur dalam Perppu 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU 2/2020.
Namun, hingga saat ini, belum ada ketentuan teknis yang mengatur perihal PTE. Belum diterapkannya PTE di Indonesia ini disebabkan pemerintah masih menunggu kesepakatan atau konsensus global pada tahun ini.
Mengacu pada tiga strategi pendekatan di atas, tidak satu pun dari pendekatan-pendekatan di atas cocok untuk diimplementasikan pada semua situasi. Masing-masing dari tiga pendekatan perpajakan ekonomi digital memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Negara-negara berkembang dapat memilih salah satu dari tiga atau dua dari tiga pendekatan tersebut untuk dapat mengamankan hak pemajakannya. Namun, sebelum menerapkannya, perlu melakukan analisis menyeluruh untuk menentukan pilihan pendekatan pemajakan digital yang paling cocok untuk masing-masing negara.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.