PPN memang dikenal sebagai jenis pajak yang memiliki ketahanan kuat ketika ekonomi melemah. Tidak mengherankan jika banyak negara berupaya merestrukturisasi penerimaan pajaknya agar proporsi PPN lebih dominan.
PPN atau pajak atas konsumsi lainnya, seperti goods and services tax, memang sudah memegang proporsi cukup besar di negara-negar maju. Dalam kurun 4 dekade terakhir, pajak atas konsumsi mencapai lebih 32% penerimaan pajak dan 11% dari PDB negara anggota OECD.
Namun, komposisi barang dan jasa kontributor PPN cenderung dinamis, terutama ketika terjadi krisis ekonomi dan setelahnya. Hal ini disampaikan dalam publikasi terbitan OECD yang ditulis Simon dan Harding pada 2020 berjudul What Drives Consumption Tax Revenues.
Mereka menjelaskan setiap negara OECD memang cenderung mengandalkan pajak berbasis konsumsi pada saat terjadi guncangan ekonomi. Negara-negara tersebut menyadari dari suatu krisis ekonomi, tingkat konsumsi rumah tanggalah yang biasanya terdampak paling akhir.
Oleh karena itu, penting untuk dicari tahu kebenaran tersebut untuk jangka panjang, terutama jika krisis ekonomi kembali terjadi. Pertama-tama, penelitian dilakukan dengan melihat faktor yang membuat PPN tahan terhadap goncangan.
Kedua peneliti OECD tersebut mengadakan riset mengenai kinerja PPN atau pajak berbasis konsumsi lainnya di negara anggota OECD dalam periode 1995 hingga 2007.
Cara pengukuran dilakukan dengan menggunakan Implicit Tax Rate (ITR), yaitu dengan membagi penerimaan PPN atau pajak atas konsumsi terhadap basis pajak tersebut. Dengan demikian, ITR mencerminkan tarif efektif sesungguhnya pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa objek pajak tersebut.
Khusus pada masa krisis, ITR mengalami penurunan akibat perubahan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Setelah krisis terlewati, kinerja PPN di sebagian negara ternyata tidak kembali pulih seperti sebelum terjadinya krisis.
Kontra dengan dampak tersebut, sebagian negara lainnya menunjukkan stabilitas kinerja PPN, bahkan di saat krisis. Ternyata, pada kelompok negara ini, proporsi basis PPN terhadap keseluruhan PDB tetap tumbuh positif. Meski terdapat pergeseran pola konsumsi, tingkat permintaan terhadap barang dan jasa objek PPN tetap relatif stabil.
Melihat perbedaan ini, diteliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan variasi dinamika kinerja PPN tersebut. Penelitian dilakukan terutama untuk fase krisis 2008 di Eropa dan setelahnya.
Sebagaimana telah disebutkan, kinerja PPN sangat dipengaruhi pergeseran pola konsumsi masyarakat. Contohnya, pada saat krisis, terdapat pergeseran komposisi barang dan jasa yang konsumsi dari yang tadinya objek PPN atau pajak atas konsumsi ke kelompok barang dan jasa yang umumnya bukan objek pajak tersebut atau memperoleh perlakuan khusus.
Kemudian, seiring perkembangan waktu, terdapat potensi bermunculan produk barang dan jasa baru yang sebelumnya tidak tercakup dalam objek PPN. Akibatnya, tingkat konsumsi barang dan jasa yang merupakan objek pajak berisiko mengerut dan menurunkan penerimaan pajak yang dapat diperoleh.
Simon dan Harding (2020) menemukan negara yang beradaptasi dengan memperluas basis PPN atau pajak atas konsumsi memiliki kinerja yang lebih stabil dan tumbuh dengan baik.
Sementara pada negara yang kesulitan memulihkan kinerja PPN, umumnya tidak melakukan penyesuaian objek PPN-nya sesuai dengan pola konsumsi baru di masyarakat.
Di Indonesia sendiri, kinerja PPN dapat dikatakan masih belum sepenuhnya optimal. Sebagaimana disampaikan Kristiaji (2016), harus diakui dari tahun ke tahun, masih ada beberapa faktor yang membuat kinerja PPN belum optimal.
Salah satunya yang menarik adalah terlalu banyaknya objek yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Faktor ini dikhawatirkan tidak hanya berdampak pada kinerja pada saat ini. Seperti yang disebutkan sebelumnya, hal tersebut dapat berpotensi sulitnya kinerja PPN kembali seperti semula.
Tentunya, berbagai faktor lainnya. seperti besarnya shadow economy dan rendahnya kepatuhan, juga turut serta menjadi penyebab belum optimalnya kinerja PPN. Terobosan kebijakan ini nantinya juga perlu didukung dengan optimalisasi administrasi dan kepatuhan.
Pada akhirnya, diharapkan penyesuaian objek dan perlakuan PPN lebih sejalan dengan pola konsumsi masyarakat umumnya. Dengan demikian, basis PPN itu sendiri tidak tergerus. (kaw)