BEBERAPA pihak mengukur kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan menghitung selisih antara realisasi penerimaan PPN dan nilai produk domestik bruto (PDB) konsumsi rumah tangga. Dengan tarif PPN 10%, maka realisasi penerimaan PPN seharusnya 10% dari nilai PDB konsumsi rumah tangga.
Dari perhitungan tersebut, maka pada 2012 dan 2013 terdapat selisih Rp112,24 triliun dan Rp383,4 triliun. Pertanyaannya, apakah benar sedemikian lemahnya kinerja penerimaan PPN di Indonesia? Lebih lanjut lagi, apa yang menjadi penyebabnya dan apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Rasio Ukuran
UNTUK mengukur kinerja penerimaan PPN, paling tidak ada empat indikator yang dapat dipergunakan. Pertama, VAT ratio, yang dihitung dengan cara membagi realisasi penerimaan PPN dengan PDB. Kedua, VAT efficiency ratio, dihitung dengan rumus realisasi penerimaan PPN dibagi tarif PPN dikalikan PDB.
Ketiga, C – efficiency ratio, yang dihitung dengan cara membagi realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan total konsumsi. Keempat, VAT gross collection ratio, yang dihitung dengan membagi realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan konsumsi rumah tangga.
VAT ratio adalah rumus sederhana seperti tax ratio yang hanya mengandalkan pembagian penerimaan pajak dengan PDB. Seluruh indikator itu, kecuali VAT ratio, bertendensi mengukur seberapa produktif atau efisien kinerja PPN berdasar basis pajak, yaitu PDB, konsumsi rumah tangga, dan total konsumsi.
Asumsi utama yang digunakan dalam ketiga perhitungan itu terletak pada tidak adanya pengecualian, tarif yang berlaku sama (single rate), serta patuhnya pembayar pajak (IMF, 2010). Tentu saja, situasi ini bertolak belakang dengan kenyataan yang sering terjadi.
Dari ketiganya, VAT gross collection ratio dianggap lebih mendekati kenyataan ketimbang VAT efficiency ratio dan C – efficiency ratio, karena memakai basis konsumsi privat, swasta dan rumah tangga (Vazquez & Bird, 2011).
Kinerja PPN
PENERAPAN PPN di Indonesia dimulai sejak 1985. Kini, lebih dari 130 negara menerapkan PPN. Sisanya menerapkan tipe pajak lain atas konsumsi seperti pajak penjualan (PPn). Tarif PPN di Indonesia hampir seragam, 10%. Namun, beberapa objek memiliki tarif 0% hingga dikecualikan dari PPN.
Selain itu, layaknya di berbagai negara lain, sistem PPN di Indonesia mengenal ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang memungut PPN, yaitu jika omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar. Per 2014, ambang batas ini juga lebih tinggi dari rata-rata threshold yang diberlakukan di berbagai negara, yaitu Rp630 juta.
Kontribusi penerimaan PPN di Indonesia sebenarnya sangat strategis. Dari tahun ke tahun, PPN adalah jenis pajak penyumbang pajak terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh). Dengan posisi itu, maka kinerja PPN, suka tidak suka, juga berpengaruh terhadap kinerja perpajakan secara umum.
Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan rata-rata dunia, rasio penerimaan PPN terhadap PDB di Indonesia masih tergolong rendah. Sebagai ilustrasi, pada periode 2012-2013, VAT ratio di Indonesia hanya 3,75%, jauh di bawah rata-rata VAT ratio dunia yang sebesar 6,11%.
Pertanyaan selanjutnya, seberapa optimal penerapan PPN kita? Dari indikator yang dikompilasi oleh USAID pada periode 2012-2013, diketahui bahwa VAT efficiency ratio di Indonesia hanya berada pada angka 0,37. Itu berarti, penerimaan PPN hanya 37% dari potensi yang dihitung berbasis PDB.
Sedangkan, VAT gross compliance ratio di Indonesia hanya 65,91. Angka ini serupa dengan kinerja rata-rata negara di dunia yang sebesar 65,93. Artinya, hanya 65,91% potensi PPN yang berhasil direalisasikan. Angka ini tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Faktor Penyebab
MESKIPUN demikian, harus diakui bahwa dari tahun ke tahun kinerja PPN kita belum terlalu menggembirakan. Paling tidak terdapat tiga faktor yang ditengarai menjadi penyebabnya. Beberapa faktor tersebut antara lain, Pertama, terlalu banyaknya objek yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
Pasal 4A UU No. 42 Tahun 2009 Tentang PPN menyebut sejumlah kelompok jenis barang dan jasa yang dikecualikan, seperti barang kebutuhan pokok, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, jasa pendidikan, jasa keuangan, dan sebagainya.
Namun, kelompok tersebut sejatinya mencakup lebih dari 100 jenis barang maupun jasa. Sebagian dari barang ataupun jasa memang perlu untuk dikecualikan, terutama apabila menyangkut hajat hidup orang banyak dan berkontribusi terhadap inflasi.
Walaupun demikian, banyaknya pengecualian tersebut akan menciptakan kesulitan dalam praktik. Misalkan, pajak masukan yang tidak boleh dikreditkan oleh pengusaha yang bergerak dalam usaha barang yang bukan objek pajak PPN.
Kedua, walaupun sistem PPN sudah dianggap lebih baik dibandingkan dengan sistem PPn, namun penerapannya membutuhkan administrasi implementasi yang tidak mudah, terutama dengan adanya syarat faktur pajak sebagai bukti pencatatan dari suatu sistem rantai suplai suatu barang atau jasa.
Faktur pajak di satu sisi memang memiliki fungsi sebagai alat penelusuran kepatuhan PPN. Namun di sisi lain, faktur pajak juga menjadi beban yang meningkatkan biaya kepatuhan, terlebih bagi jenis usaha yang memiliki omzet tertentu.
Pada 2014 pemerintah merevisi threshold PKP menjadi Rp 4,8 miliar. Hal ini tentu mengurangi biaya kepatuhan, walau ada potensi trade-off dengan hilangnya kemampuan pemerintah melacak rantai aktivitas ekonomi masyarakat.
Ketiga, masih berkaitan dengan administrasi PPN, mekanisme faktur pajak menciptakan adanya potensi kebocoran penerimaan. Banyak pihak yang menerbitkan faktur pajak fiktif untuk dijadikan alat pengurang pembayaran pajak dan mengambil keuntungan yang bukan merupakan haknya.
Untungnya, pemerintah juga tanggap mengenai hal ini. Pada Juli 2014, pemerintah menyederhanakan administrasi perpajakan dengan memberlakukan kebijakan e-faktur yang memudahkan dokumentasi, kontrol, serta validasi kebenaran aktivitas transaksi yang mengandung kewajiban PPN.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.