KEBIJAKAN PAJAK

Menyoal Konsep BUT pada Era Digitalisasi

Hamida Amri Safarina
Selasa, 22 September 2020 | 15.43 WIB
Menyoal Konsep BUT pada Era Digitalisasi

GLOBALISASI dan perkembangan ekonomi telah mendorong banyak perusahaan asing untuk beroperasi di Indonesia melalui bentuk usaha tetap (BUT).

Konsep BUT tersebut sangat krusial untuk diperhatikan. Hal ini dikarenakan ada atau tidaknya BUT menentukan bisa atau tidaknya suatu yurisdiksi memajaki penghasilan perusahaan yang bukan wajib pajak dalam negerinya.

Definisi BUT atau yang sering disebut permanent establishment (PE) ini juga menjadi bahasan yang sangat intens di tingkat global. Definsi BUT juga menjadi aspek yang penting dalam upaya pencapaian konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi OECD.

Persoalan terkait konsep BUT inilah yang diangkat dalam buku yang berjudul Permanent Establishment: Erosion of a Tax Treaty Principle. Buku yang ditulis oleh Arvid Aage Skaar ini menjelaskan kriteria penentuan BUT yang dikaitkan dengan prinsip dalam perjanjian perpajakan (tax treaty).

Sebelumnya, buku ini sudah pernah diterbitkan pada 1991. Pada 2020, dikeluarkanlah edisi kedua untuk memberikan gambaran konsep BUT yang disesuaikan dengan isu yang saat ini terjadi.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan OECD Model, keberadaan BUT ditentukan dari ada atau tidaknya tempat usaha (place of business test) dan tempat usaha didirikan secara fisik di suatu lokasi tertentu (location test).

Kemudian, terdapat hak wajib pajak untuk memanfaatkan tempat tersebut (right use test), digunakannya tempat usaha yang bersifat permanen (permanence test), dan kegiatan usaha sesuai definisi dalam aturan domestik suatu negara atau P3B (business activity test).

BUT dianggap tidak ada apabila salah satu kondisi tersebut tidak terpenuhi. Sayangnya, meningkatnya signifikansi ekonomi digital telah membuat kriteria penentuan BUT tersebut tidak memadai dan kurang relevan diterapkan untuk saat ini.

Keberadaan perusahaan di suatu negara mulanya dapat dideteksi dengan jelas berdasarkan keberadaan secara fisik. Akan tetapi, keberadaan dan aktivitas mereka saat ini menjadi tidak berwujud sehingga sulit untuk memungut pajak atas laba yang diperoleh.

Keadaan tersebut memungkinkan perusahaan untuk beroperasi di suatu negara dan menghasilkan banyak keuntungan tanpa menimbulkan BUT di negara tersebut.

Saat ini, banyak perusahaan yang beroperasi dan memperoleh laba usaha di suatu negara tanpa adanya kehadiran fisik. Tidak tanggung-tanggung, perusahaan yang dimaksud secara nyata melaksanakan kegiatan bisnis, termasuk pengumpulan data dan mengiklankan produknya.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut, penulis menyampaikan perlu adanya modifikasi konsep BUT. Arahnya sudah terlihat jelas, penentuan ada atau tidaknya BUT seharusnya tidak lagi merujuk pada kehadiran fisik tetapi berbasis pada aktivitas bisnisnya di suatu negara.

Perkembangan dan perubahan yang saat ini terjadi berimplikasi pada tax treaty yang dimiliki oleh setiap negara. Penulis menilai ketentuan dalam tax treaty juga harus berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan setiap negara.

Permasalahannya saat ini ialah suatu instrumen atau kebijakan pajak tertentu belum tentu dapat mengakomodir kepentingan politik dan ekonomi semua negara. Oleh karena itu, perlu ada kesepakatan antarnegara untuk menentukan hak pemajakan dan kebijakan pajak yang tepat.

Dalam upaya untuk mengatasi tantangan yang diciptakan oleh perubahan sistem bisnis akibat perkembangan teknologi, adanya proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD 2017 dan instrumen multilateral telah berkontribusi untuk mengharmonisasikan kebijakan perpajakan antarnegara.

Pada bagian akhir, penulis menyarankan sebaiknya negara-negara meninggalkan prinsip atau kriteria penentuan BUT saat ini. Kemudian, konsep baru diusulkan di mana kewenangan memungut pajak seharusnya terletak pada negara sumber keuntungan atas suatu bisnis. Meski begitu, permanence test mungkin saja masih tetap bisa digunakan sebagai pertimbangan penentuan dari sisi administrasi pajaknya.

Adapun yang dimaksud permanence test ialah tempat usaha yang digunakan untuk menjalankan kegiatan yang sifatnya teratur dan permanen. Permanence test biasanya dilakukan dengan pendekatan duration test dengan cara melakukan penghitungan berapa lama keberadaan tempat usaha tersebut.

Secara keseluruhan, buku ini disusun secara komprehensif dan memberikan banyak infomasi. Penulis tidak terbatas menjelaskan konsep, kriteria, ataupun definisi BUT saja, tetapi ada pula perkembangan isu perpajakan yang dibahas dalam setiap babnya. Sejarah serta perkembangan konsep BUT juga dibahas.

Buku ini layak untuk dijadikan referensi untuk memahami konsep BUT dan isu yang berkembang saat ini. Tertarik membaca buku ini? Silakan datang ke DDTC Library!

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.