PERUNDANG-UNDANGAN

Mewujudkan Kepastian Hukum Pajak

Hamida Amri Safarina
Jumat, 09 Agustus 2019 | 17.49 WIB
Mewujudkan Kepastian Hukum Pajak

PERATURAN perundang-undangan yang tidak jelas atau tidak pasti dapat menimbulkan kekosongan hukum.

Untuk mengisi kekosongan hukum yang dapat timbul, pejabat yang berwenang dapat membuat keputusan atau tindakan yang disebut diskresi. Pemberian kewenangan seperti ini membuka ruang kepada pejabat tersebut untuk membentuk hukum berdasarkan interpretasinya sendiri.

Diskresi dapat timbul dalam hal peraturan yang memberikan pilihan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu, diskresi juga bisa muncul karena peraturan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.

Perpanjangan kekuasaan kepada pejabat yang berwenang ini memunculkan pertanyaan, bagaimana diskresi dapat dilakukan di bawah aturan hukum dan sejauh mana dapat dilakukan? Buku yang berjudul The Delicate Balance: Tax, Discretion and the Rule of Law yang diterbitkan pada 2010 masih sangat relevan dengan pertanyaan itu.

Buku ini terdiri dari 14 bab dan ditulis oleh 18 kontributor yang berasal dari berbagai universitas besar dunia, seperti University of Oxford, University of New South Wales, University of Tilburg, dan lainnya. Dua bab pertama diawali dengan ulasan mengenai konsep diskresi dan aturan hukum, serta bagaimana keduanya membentuk kepastian peraturan perpajakan.

Pada bab-bab selanjutnya, ada ulasan konsep dan penerapan diskresi di 12 negara. Keduabelas negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Hong Kong, Belanda, Perancis, Italia, Hungaria, dan China.

Dalam setiap bab, penulis menjelaskan konsep dan penerapan diskresi di bawah aturan hukum di negara-negara tersebut, beserta batasan yang dapat dilakukan. Setidaknya, terdapat tiga hal yang perlu dicermati dalam buku ini.

Pertama, pembentukan aturan hukum oleh legislatif bertujuan untuk mengatur dan memberikan pedoman kepada setiap orang untuk bertindak. Namun, terkadang hukum yang sudah ada masih kurang jelas dan tidak pasti. Agar tercipta kepastian hukum peraturan perpajakan, eksekutif diberikan kewenangan untuk secara bebas mengambil keputusan sendiri.

Kedua, menurut salah satu penulis, Dominic de Cogan, diskresi dapat dibenarkan selama diakibatkan oleh adanya tuntutan administrasi dan tidak bertentangan dengan peraturan yang sudah ada. Di sisi lain, diskresi mempunyai beberapa kelemahan.

Kelemahan yang sering dikeluhkan yaitu keputusan berbasis diskresi kadang tidak dapat diandalkan. Selain itu, ada kemungkinan pejabat yang berwenang mengesampingkan keputusan sebelumnya atau tidak konsisten, bertentangan dengan peraturan lain dan sebagainya.

Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan adalah beberapa negara yang sudah menentukan pada situasi seperti apa diskresi dapat dilakukan. Penentuan tersebut menjadi batasan atas kebebasan pengambilan keputusan yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, terdapat koridor yang jelas dalam hal apa saja diskresi dapat dilakukan.

Ketiga, keputusan berbasis diskresi masih bisa dianulir dengan melakukan pengujian ke pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai pihak yang bisa membatasi diskresi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Proses pengujian di pengadilan mencerminkan adanya mekanisme check and balance, transparansi, dan akuntabilitas. Hal tersebut telah dilakukan di Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru, Belanda, Australia, dan China.

Dengan demikian, keberadaan aturan hukum dan diskresi berguna untuk menjamin implementasi sistem perpajakan. Ada keyakinan kuat bahwa tindakan diskresi tidak dapat dihindarkan dalam suatu struktur hukum pajak. Mengutip pendapat Dourado, keberadaan aturan hukum dan diskresi sama-sama berguna dalam menjamin sistem perpajakan yang lebih berkepastian hukum.

Buku ini jelas sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, otoritas pajak, dan akademisi, tetapi juga anggota badan legislasi di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan diskresi dan penerapan di berbagai negara bisa dijadikan sebagai benchmark bagi perbaikan sistem hukum pajak di Indonesia.

Tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.