SOSOKNYA sederhana. Namun, ia tekun dan mau belajar. Akhirnya, ia dipercaya mengurus banyak hal. Itulah Faqih Rusdiana, Associate Director Personnel General Affair, Accounting and Information Technology PT PHC Indonesia.
Faqih, demikian ia biasa dipanggil, awalnya mengurus penjualan produk Panasonic. Namun, secara tidak sengaja ia justru berhadapan dengan auditor pajak. Akhirnya, sepanjang 25 tahun karirnya, ia lebih banyak mengurus pajak perusahaan.
Menariknya, latar pendidikan Faqih hanyalah D3 Politeknik Universitas Diponegoro, Semarang. Ia mengambil Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi, dengan Program Studi Perbankan. “Tapi saya juga ambil S3 di Jawa, yaitu SD, SMP, dan SMA,” katanya sambil terkekeh.
Sepanjang kariernya, Faqih mengalami tiga UU Ketentuan Umum dan Perpajakan. Ia merasakan dampak reformasi pajak, bagaimana perubahan di kantor pajak. Lalu apa yang bisa digali dari pengalamannya? Untuk itu, DDTCNews mewawancarai Faqih melalui Zoom pekan lalu. Petikannya:
Anda lulusan D3, tapi Anda associate director perusahaan besar. Bagaimana ceritanya?
Saya lulus S3 di Jawa, SD, SMP, SMA, hahaha… Pendidikan saya Politeknik Undip. Saya belajar ekonomi, akuntansi perbankan. Waktu itu ambil ekstensi UI, tapi tidak selesai karena jauhnya jarak dari Cibitung ke Salemba. Hanya beberapa semester, akhirnya saya memilih fokus bekerja.
Waktu masuk perusahaan 1995, saya mengurusi sales. Setelah 2 tahun, saya diminta mengelola pajak, tetapi saya tolak karena sepertinya bukan dunia saya. Pada 1999, ada pemeriksaan. Kebetulan petugas pajak kami sakit, saya diminta menggantikan. Jadilah saya pindah ke accounting.
Pada 2004-2005, kami ada pergantian sistem, karena saya di accounting saya menjadi salah orang project management, di situlah saya bergelut di bidang teknologi informasi (IT). Sampai 2014-2015, saat itu saya terlibat sedikit-sedikit di personalia.
Tahun 2018, ditawari mau terus di accounting dan IT atau personalia. Dari sudut pandang saya, peluang untuk berkarier lebih jauh lebih terbuka jika masuk personalia. Itu sejarahnya kenapa pekerjaan saya di personalia.
Sepertinya tipikal Anda cocok mengurusi pajak perusahaan..
Kalau itu bukan passion, tapi tanggung jawab yang diberikan perusahaan. Waktu saya kali pertama masuk, Pak Gobel [Rachmad Gobel] berpesan agar kita selalu berjuang. Prinsip perusahaan itu berjuang utuk perbaikan. Jadi bukan soal enjoy atau tidak, tapi kita harus berjuang yang terbaik.
Di Jepang sendiri, saya pernah diberi pesan, bekerja itu seperti bermain. Kadang menang, kadang kalah. Namun, yang penting saat kita punya kesempatan berjuang, usahakan benar. Kalau setelah kita usahakan tetap tidak tercapai, lupakan. Jangan sampai kita terbebani dengan hasil.
Apapun yang diamanahkan, saya coba selesaikan dengan baik. Kalau hasil, dari 1997 banyak case kami di perpajakan yang bikin stres. Namun, itu bagian dari perjalanan perusahaan, dan hubungan dengan kantor pajak. Ada case yang bisa selesai, ada yang tidak. Itu games saja.
Dengan Covid-19, adakah yang berubah dari rutinitas pekerjaan?
Di pabrik tidak berubah, mungkin hanya protokol. Di pabrik tidak semua bisa work from home, sementara kami bergerak di kesehatan, sehingga kita dapat izin untuk terus beroperasi. Sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pabrik belum pernah sama sekali tutup.
Tapi kapasitas berkurang karena aturannya jam kerja berkurang. Kita juga ada masalah dengan ditutupnya Malaysia Filipina, Singapura, sehingga material yang kita order tidak sampai. Mei-Juni kami sempat kurangi shift, dari 3 shift jadi 2 shift, dan produk lain 2 shift jadi 1 shift.
Penurunan kapasitas produksi PT PHC Indonesia 15% sampai 20%. Menurut Faqih, dari order tidak ada masalah karena tetap tinggi, tetapi dari materialnya yang tidak bisa datang karena negara lain ditutup, karena logistik tidak bisa jalan baik dari airport maupun pelabuhan.
Bagaimana penilaian Anda mengenai insentif pajak?
Kalau untuk perusahaan, karena ada di kawasan berikat, sebetulnya untuk PPh Pasal 21 lebih membantu dari sisi karyawan yang penghasilannya di bawah Rp200 juta. Untuk PPh Pasal 22, kami ada sedikit, karena ada bisnis Electronics Manufacturing Service yang dijual di pasar lokal.
Kalau dari perusahaan, sebetulnya pengaruhnya tidak terlalu signifikan dampaknya karena kami berada di kawasan berikat yang penjualan lokalnya juga tidak terlalu banyak. Kebetulan kami ada carryover loss sehingga kita tidak ada angsuran PPh Pasal 25. Jadi, tidak berpengaruh.
Namun untuk grup, saya rasa besar. Grup banyak mengimpor material lalu dijual di pasar lokal. Untuk PPh Pasal 22 dan restitusi PPN mereka sangat terbantu. Masalahnya tidak hanya pandemi, tapi juga kurs yang tidak stabil. Insentif itu berdampak, tapi belum bisa meng-cover semua kerugian.
Bagaimana Anda melihat sektor perpajakan dikaitkan dengan iklim investasi?
Sebenarnya PR kita dari dulu tidak hanya perpajakan. Ada dua lagi yang perlu diperbaiki, yaitu kepastian hukum dan perizinan. Contoh, kami ada beberapa ekspatriat yang mau bekerja. Ternyata izinnya, dari semula di Imigrasi dan Kementerian Ketenagakerjaan, sekarang harus juga ke BKPM.
Jadi prosesnya lebih panjang. Ternyata harus ada pengantar dari BKPM. Waktunya tidak pasti. Akhirnya, kedatangan mereka kami batalkan. Memang pemerintah sudah melakukan banyak perbaikan. Tapi kadang antara policy mempermudah investasi dan aktualnya di lapangan tidak sejalan.
Untuk kepastian hukum, kadang aturannya ada, tetapi sudut pandangnya berbeda. Di pajak misalnya, ada kemungkinan beda pendapat waktu pemeriksaan. Makanya, cost of compliance-nya tinggi. Ada pemeriksaan, diikuti keberatan, sampai pengadilan. Prosesnya makan waktu dan biaya.
Bagaimana dengan omnibus law UU Perpajakan?
Poinnya bukan teknis aturannya, tapi lebih banyak pemahamannya. Aturan sudah banyak, tinggal teknisnya. Banyak aturan belum dipahami wajib pajak dan petugas pajak. Ini yang membuat beda pendapat, membuat kita merasa 'susah sekali membayar pajak’.
Kalau omnibus law, isinya teknis policy. Kalau policy sudah ditentukan, tentu membantu pemerintah dan pengusaha. Tapi kalau pelaksanaannya seperti itu , pemahamannya begitu [ada interpretasi berbeda], wajib pajak tetap enggak akan yakin, apakah sudah membayar pajak dengan benar.
Ada pengalaman menarik selama mengelola pajak perusahaan?
Kebetulan saya November nanti tepat 25 tahun di sini. Karena itu, saya punya pengalaman pindah beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah (Kanwil). Dulu di Bekasi KPP Cikarang, Kanwil Bandung. Pernah pindah ke Kanwil di Banten, lalu ke Kanwil Bekasi.
Tentu ada perbedaan karakteristik, baik dari sisi pelayanan, pemahaman, dan sebagainya di setiap KPP. Kuncinya, membina hubungan baik. Dalam arti, kami lebih sering bertemu untuk memberikan gambaran kondisi usaha kami. Kalau kami tidak update, susah sekali menyelesaikan dispute.
Anda merasakan ada perbaikan dalam mengurus pajak perusahaan?
Dari waktu ke waktu, saya merasa ada perbaikan. Sebagai contoh, di KPP PMA 2 sekarang ini kami lebih mudah melakukan diskusi. Kami bisa berargumentasi dengan pemeriksa, dan itu bisa dilakukan dengan kondisi yang lebih nyaman dibandingkan dengan sebelumnya.
Sekarang ini jauh berbeda. Mereka mau mendengar kondisi kami, mau mendengar argumentasi. Sekarang ini sudah lebih baik. Begitu pula dari sisi pemahaman. Sekarang terasa lebih balance.
Dari layanan kepabeanan, karena PHC Indonesia di kawasan berikat, apa yang dirasakan?
Kebetulan sejak 1991, kami sudah ada di kawasan berikat. Mungkin trennya sama dengan pajak, di awal masih banyak kendala dalam melakukan operasi, pelayanan Bea Cukai juga masih terbatas karena pabrik berjalan 24 jam, sedangkan petugas Bea Cukai hanya sampai 5 sore.
Kalau malam hari ada barang datang, itu pasti terkendala. Tapi sejak November 2019 kami sudah dapat sertifikasi sebagai pelaksana Kawasan Berikat Mandiri. Karena itu, sekarang kami bisa shipping membongkar kontainer tidak perlu lagi dengan petugas Bea Cukai. Ini sangat membantu.
Menurut Faqih, sertifikasi itu terobosan yang sangat baik. Jumlah pegawai Bea Cukai bisa berkurang, dan perusahaan punya keluwesan beroperasi. Dulu kontainer datang menunggu, sekarang kapan pun bisa bongkar muat. Misal ada material yang urgent, bisa langsung dibuka untuk produksi.
Anda sudah 25 tahun berkarir di perusahaan. Apa definisi sukses menurut Anda?
Sebenarnya pesan dari orang tua saja, agar sebisa mungkin kita menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Di perusahaan ini, saya selalu pesan pada staf saya, dari accounting, IT, personalia, kalau kita bisa bekerja dengan benar, pasti ada manfaatnya.
Contoh di accounting, kalau kita bikin laporan salah sehingga perusahaan bermasalah, bisa ada PHK dan segala macam. Itu tanggung jawab kita lho, karena kesalahan kita menyengsarakan orang lain. Jadi, kalau kita bisa berikan kebaikan untuk orang lain, kesuksesannya di situ.
Bagaimana Anda mengatasi kejenuhan bekerja?
Hobi saya memancing. Tapi ada lagi yang lain, melamun. Kalau pas pusing atau stres, biasanya karena problem kerjaan, dari melamun saya cari problemnya di mana. Nanti dengan melamun itu akan ketemu, apa yang harus diperbaiki. Tapi kalau ditanya hobi, saya jawab memancing,
Kebiasaan saya menghilangkan stres ya melamun tadi. Memancing di kolam paling 2 minggu sekali, kalau ke laut agak lama. Tapi tidak pasti. Mungkin berhubungan dengan kebiasaan tadi. Kalau memancing orang kan tidak melihat kita melamun hehe... (Rig/Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.