SEKJEN ASOSIASI E-COMMERCE INDONESIA BUDI PRIMAWAN

‘Kami Pasti Patuhi Aturan Pajaknya, Cuma Perlu Waktu Penyesuaian’

Aurora K. M. Simanjuntak
Senin, 11 Agustus 2025 | 13.43 WIB
‘Kami Pasti Patuhi Aturan Pajaknya, Cuma Perlu Waktu Penyesuaian’

PEMERINTAH dan penyelenggara marketplace sama-sama bersiap untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025 dan Peraturan Dirjen Pajak PER-15/PJ/2025. Beleid itu mengatur penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penghasilan yang diperoleh pedagang online dari transaksi di platform marketplace tersebut

Penyedia marketplace yang mendapat tugas baru sebagai pemungut pajak tentunya harus menyiapkan diri untuk mematuhi regulasi yang berlaku. Namun, penyedia marketplace ternyata masih menghadapi berbagai tantangan teknis sehingga memerlukan dukungan pemerintah.

Kepada DDTCNews, Sekjen Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan memberikan pandangannya mengenai tantangan penyedia marketplace, durasi untuk mempersiapkan sistem, beban administrasi yang berpotensi mengerek harga produk, serta saran dan harapan kepada Ditjen Pajak (DJP). Berikut petikan lengkapnya.

Penyedia marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22. Bagaimana kesiapannya ?

Kami masih mempelajari dan berusaha mencerna kebijakan ini karena secara internal marketplace pun banyak isu yang perlu disederhanakan. Contoh, kami harus memikirkan kalau barang sudah dikirim ke pembeli lalu dikembalikan, ini bagaimana pajaknya, karena otomatis uang dikembalikan ke konsumen.

Makanya, kami mau bertemu Dirjen Pajak untuk mendapatkan kejelasan tentang peraturan dalam PMK 37/2025. Saya yang mendampingi, dan perwakilan dari 4 marketplace — Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Blibli — akan hadir. Jadi, kami coba luruskan dulu.

DJP yakin persiapan marketplace untuk ditunjuk sebagai pemungut pajak hanya butuh waktu kira-kira 2 bulan saja, tidak sampai setahun. Apakah marketplace siap?

Kalau 2 bulan itu terlalu cepat buat kami. Marketplace di Indonesia juga merupakan turunan dari perusahaan induk internasional. Jadi, kami harus meminta penjelasan mengenai kebijakan ini. Kami juga kan harus berkomunikasi dengan pedagang online (seller), karena merekalah yang nantinya akan dikenai PPh Pasal 22.

Terlebih, seller harus memberikan surat pernyataan apakah omzet sudah melebihi atau belum menyentuh Rp500 juta setahun. Bayangkan punya 4 toko dan mesti bikin surat satu-satu, sementara kami punya jutaan pelanggan.

Itu sudah merupakan beban administratif bagi marketplace. Mengumpulkan surat apakah mudah? Lalu, bagi seller yang harus mengurus surat pernyataan, mereka mesti submit ke 4 marketplace. Misal, 4 dikali 10.000 seller, sudah 40.000 surat, dan ini akan berjalan setiap tahun.

Untuk memfasilitasi itu, berarti marketplace harus menyiapkan sistem, termasuk TIK, dan sistem untuk menampung surat yang disampaikan seller?

Iya. Kami juga memberikan saran ke DJP supaya dilakukan secara elektronik saja. Kan sudah zaman teknologi digital. Kenapa tidak bikin sistem digital, seller nanti tinggal pilih “yes” atau “no”.

Apakah kesiapan sistem ini menjadi tantangan utama dalam menerapkan PMK 37/2025?

Bukan yang utama, tetapi ini salah satu tantangan yang sudah di depan mata. Banyak sebenarnya masalah lain karena tiap marketplace berbeda-beda.

Sebenarnya kebijakan atau PMK ini sesuatu yang positif. Kami pasti akan comply, cuma tinggal masalah waktunya. Ada perubahan sistem, perizinan, dan kami juga harus mengetes sistemnya, sudah baik atau belum.

Kami juga belum tahu apakah DJP punya sistem yang bisa dihubungkan dengan kami atau tidak. Dengan adanya trial and error, tidak cukup 2 bulan. Makanya menurut kami, 1 tahun setelah penunjukan itu sudah paling ideal.

Sudah hampir sebulan sejak PMK 37/2025 berlaku, apa saja yang sudah disiapkan marketplace?

Sambil menunggu kejelasan dari DJP, kami sudah melakukan persiapan internal, tapi persiapan ini juga masih banyak yang menunggu kepastian dari DJP.

Apa saja poin-poin utama yang akan disampaikan ke DJP saat bertemu nanti?

Tentunya waktu persiapan yang butuh 1 tahun. Sisanya, kami ingin menyampaikan pendapat dan menyamakan persepsi mengenai kebijakan ini.

Kami mau mematuhi peraturan, tapi kami minta banyak dukungan dari pemerintah. Apalagi kalau pemerintah bisa memberikan insentif.

Insentif yang dibutuhkan marketplace itu seperti apa?

Banyak, misalnya insentif fiskal berupa pengurangan penghitungan pajak terhadap e-commerce. Kemudian, DJP bisa memberikan sosialisasi dan informasi untuk para seller atau masyarakat secara terarah. Jadi, banyak sekali.

Awalnya, kami tidak wajib memotong dan menyetor pajak. Sekarang, pemerintah mewajibkannya. Membayar dan mentransfer pajak itu awalnya tanggung jawab seller. Untuk itu, wajar kalau kami meminta insentif untuk mengerjakan perubahan ini.

Kalau tidak ada insentif, kami hanya mengerjakan saja tanpa dukungan. Padahal, ini butuh investasi yang lumayan besar. Selain investasi dalam bentuk uang, juga harus investasi di sumber daya manusia yang mengerjakannya.

Pengenaan PPh Pasal 22 terhadap merchant apakah berpotensi mengerek harga barang?

Kita tahu di Indonesia, kalau penjual melihat ada pengenaan pajak, mereka langsung meneruskannya ke pembeli dengan alasan “sekarang kita kena pajak”.

Kemudian, beban administrasi mungkin membuat marketplace keberatan biaya atau cost. Jadi, marketplace mungkin merasa perlu meningkatkan biaya admin. Bisa saja ketika biaya admin naik, seller ikut meneruskannya ke konsumen.

Dengan penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22, bagaimana proyeksi kinerja marketplace ke depan?

Marketplace ada yang tutup buku di akhir tahun 2025, ada yang di Maret atau pertengahan 2026. Nanti kita lihat kinerjanya. Kami belum tahu dampak regulasi ini seperti apa, tapi marketplace akan bertahan.

Sejak 2022 atau 2023, pemasukan dari modal ventura banyak berkurang. Jadi, kami mesti mengambil administration fee untuk menambah pemasukan. Nah, ini semua menjadi lebih berat.

Sekarang, kami perlu memperhatikan faktor internal marketplace, dan juga faktor eksternal seperti pihak pembeli. Mengingat banyak pabrik atau perusahaan yang tutup, pembeli dikhawatirkan berkurang. Namun, di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, atau Makassar, mungkin tidak terasa.

Apa saran asosiasi kepada DJP selaku regulator, serta kepada marketplace dan pedagang online?

Untuk DJP, kami sudah berkomitmen comply dengan peraturan yang berlaku, tapi tolong kami diberi bantuan juga, seperti insentif, sehingga kami bisa bekerja dengan baik. Karena sekarang ini, kami juga menghadapi persaingan sendiri di antara 4 marketplace.

Di dalam marketplace, tiap-tiap seller banyak berkompetisi. Selain itu, sudah banyak dana yang kami keluarkan, misalnya platform memberikan bebas ongkos kirim. Jumlahnya bisa besar.

Untuk platform marketplace, sebaiknya kami mulai menata diri. Mengingat platform sudah memberikan berbagai potongan, baik yang diminta pemerintah maupun tidak, kami perlu menjaga kesinambungan bisnis itu sendiri.

Dengan keadaan sekarang yang sedang babak belur, kami harus tetap berjalan dan memberikan yang terbaik bagi konsumen. Seller juga harus bisa memberikan consumer experience yang baik. Jadi, semua itu membutuhkan tenaga dan biaya. Kami berharap para regulator dan seller bisa memahami hal ini. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Zainal Arifin
baru saja
Penjajah yg sebenarnya adalah pemerintah sendiri