INDUSTRI alat kesehatan mendadak menjadi sektor yang diminati saat pandemi Covid-19. Namun, dalam pengembangannya, sektor usaha ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari ketersediaan bahan baku, persaingan harga produk, hingga soal arus kas.
Industri alat kesehatan di dalam negeri harus bersaing dengan besarnya impor produk asal China yang lebih murah. Di sisi lain, industri ini masih sangat bergantung pada bahan baku impor dari negara tersebut.
Ketua Umum Himpunan Pengembangan Ekosistem Alat Kesehatan Indonesia (HIPELKI) Randy H. Teguh menilai pemberian insentif dan kemudahan dalam pelayanan perpajakan dapat meningkatkan daya saing industri alat kesehatan.
Selain itu, dia juga menyinggung peluang yang terbuka di sektor alat kesehatan seiring dengan banyaknya program kesehatan yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto. Berikut petikan wawancaranya:
Industri alat kesehatan sebenarnya sama seperti umumnya industri produk-produk kesehatan lain. Sejarah juga menunjukkan industri kesehatan, baik farmasi maupun alat kesehatan, relatif cukup bertahan, tidak rapuh, atau rentan terhadap krisis ekonomi.
Pada krisis ekonomi 1998 dan 2008, meskipun ada perlambatan pertumbuhan, tetapi tidak sampai terjadi penurunan drastis (degrowth).
Pada masa pandemi, karena krisisnya bukan krisis ekonomi melainkan krisis kesehatan, kami di asosiasi melihatnya sebagai kondisi yang netral.
Artinya, teman-teman yang bergerak di usaha yang terkait dengan penanganan pandemi mendapatkan nilai positif karena produknya banyak dibutuhkan dan dicari.
Namun, bagi teman-teman di bidang alat kesehatan yang tidak terkait pandemi, dampaknya negatif, bahkan nol, karena bisnis mereka tidak berjalan.
Contoh, pada masa pandemi kemarin, praktik dokter gigi sempat ditutup. Bahkan, operasi yang dilakukan hanya operasi darurat. Akibatnya, teman-teman yang memproduksi alat kesehatan terkait dengan bidang tersebut mengalami stagnasi atau bahkan penurunan.
Masa pandemi sebenarnya adalah masa keemasan bagi industri kesehatan, khususnya alat kesehatan. Perhatian semua pihak tertuju pada sektor ini. Sebelumnya, industri alat kesehatan relatif tidak dianggap menarik karena nilai pasarnya tidak besar.
Saat pandemi, perhatian besar mulai diberikan pada industri alat kesehatan. Jumlah produsen dalam negeri meningkat dari sekitar 170-an sebelum pandemi menjadi sekitar 800-an setelahnya—pertumbuhan yang luar biasa.
Data dari e-Katalog menunjukkan bahwa sebelum pandemi, produk alat kesehatan dalam negeri hanya menyumbang 10% dari pasar. Namun, pada Desember 2023, angka ini telah meningkat hingga 48%.
Ini multifaktor. Jika bicara mengenai transfer teknologi, itu salah satunya. Transfer teknologi sering terdengar mudah disebutkan, tetapi implementasinya jauh lebih sulit.
Menurut kami, perusahaan asing yang masuk ke Indonesia perlu diwajibkan dengan mekanisme tertentu sehingga terjadi transfer teknologi. Saat ini, ada hampir 800-an perusahaan yang mungkin belum menggunakan transfer teknologi, tetapi memanfaatkan teknik reverse engineering.
Misalnya, ada USG merek dunia yang kemudian diotak-atik oleh peneliti, bahkan mungkin bekerja sama dengan perguruan tinggi, untuk dibuat versinya di Indonesia. Itu modal yang baik. Beberapa produk dalam negeri juga hasil penelitian perguruan tinggi.
Meski begitu, kendala terbesar tetap pada bahan baku. Industri alat kesehatan membutuhkan bahan baku medical grade, yang mayoritas masih harus impor. Kalaupun ada yang diproduksi dalam negeri, sering terancam tidak berkelanjutan karena keterbatasan permintaan dari industri.
Mengenai harga alat kesehatan, yang perlu dicek adalah harga jual ke pasien. Misal, pemasangan ring jantung di Penang biayanya Rp10 juta, tetapi itu mencakup biaya rumah sakit. Hal yang sama perlu diperiksa untuk rumah sakit di Indonesia.
Analisis kami menunjukkan bahwa harga alat kesehatan di Indonesia ada yang lebih mahal, tetapi juga ada yang lebih murah. Jika lebih mahal, biasanya selisihnya hanya 10% hingga 30%, tidak sampai 3-4 kali lipat.
Kami memiliki data dari negara ASEAN. Memang, total landed cost di Indonesia termasuk yang tinggi, nomor 2 setelah Filipina. Landed cost di Indonesia berkisar antara 20% hingga 28%, tergantung bea masuk dan PPh impor. Negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, lebih rendah karena tidak ada PPh impor.
Namun, tantangan utama adalah ketergantungan pada bahan baku impor dari China. Di China, ekspor produk jadi tidak dikenakan tarif, tetapi ekspor bahan baku dikenakan tarif. Akibatnya, alat kesehatan produksi dalam negeri jadi lebih mahal dibanding produk jadi impor dari China.
Insentif sangat membantu, terutama untuk mengatasi masalah arus kas. Restitusi PPN yang biasanya diterima tahun berikutnya sering menjadi kendala.
Selain itu, insentif lain seperti pengurangan PPh dan PPN akan menjadi booster yang signifikan. Dengan arus kas yang lebih baik, industri bisa lebih kompetitif.
Tax holiday sebenarnya sulit diakses oleh industri alat kesehatan karena syaratnya terlalu tinggi. Misal, investasi harus mencapai Rp500 miliar dan menyerap 200 tenaga kerja. Padahal, industri alat kesehatan rata-rata hanya membutuhkan investasi Rp20 miliar hingga Rp50 miliar, dengan tenaga kerja sekitar 20-30 orang.
Untuk supertax deduction, meski ada peluang untuk litbang, penerapannya belum banyak dimanfaatkan karena prosesnya rumit. Kami berharap prosesnya bisa dipermudah agar lebih banyak yang mengakses.
Kami berharap kebijakan tetap mendukung pengadaan produk dalam negeri. Selain itu, penting juga untuk tetap memberi ruang bagi impor produk dengan teknologi canggih sehingga layanan kesehatan di Indonesia meningkat.
Jika masyarakat bisa mendapatkan layanan kesehatan berkualitas di dalam negeri, mereka tidak perlu lagi berobat ke luar negeri sehingga devisa tidak keluar.
Betul. Kami berharap program-program kesehatan pemerintahan Pak Prabowo, seperti makan gratis dan penjagaan stunting, berdampak pada peningkatan kebutuhan alat kesehatan.
Kami juga berharap program Pak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, seperti 6 Pilar Transformasi Kesehatan Indonesia, dapat dilanjutkan dan diimplementasikan dengan baik.
Salah satu program, seperti pemeriksaan kesehatan gratis, tentu membutuhkan banyak alat kesehatan. Kami masih menunggu aturan teknisnya untuk memastikan implementasinya berjalan lancar. (rig)