M. Syahputra Sandiyudha,
PENAMBAHAN kewenangan penyitaan aset oleh penyidik pajak mulai dipertimbangkan pemerintah sebagai bagian dari upaya penegakan hukum pajak dan pemulihan aset (asset recovery).
Diskursus penambahan kewenangan penyitaan aset oleh penyidik pajak mulai gencar diperbincangkan sejak beredarnya draf revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sejak akhir Mei 2021, draf revisi UU KUP sudah diterima DPR untuk dibahas.
Kewenangan penyitaan oleh penyidik dalam suatu tindak pidana diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketentuan a quo menyebutkan pada dasarnya, penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh jenis benda, baik benda bergerak, tidak bergerak, berwujud, maupun tidak berwujud sepanjang terkait dengan kepentingan pembuktian suatu tindak pidana.
Permasalahannya, ketentuan Pasal 44 ayat (2) huruf e UU KUP yang merupakan lex spesialis atas ketentuan penyitaan di bidang perpajakan justru mengurangi kewenangan penyidik pajak dalam melakukan penyitaan. Penyitaan oleh penyidik pajak hanya terbatas pada bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain.
Pertanyaannya, sejauh apa urgensi pengaturan kewenangan penyitaan aset oleh penyidik pajak dalam revisi UU KUP? Kemudian, apa saja hambatan dalam penegakan hukum pidana pajak berbasis pemulihan aset?
SETIDAKNYA, terdapat beberapa urgensi perlunya penambahan kewenangan penyitaan aset oleh penyidik pajak dalam revisi UU KUP. Pertama, penguatan kewenangan penyidik untuk mengatasi tindakan kriminal pada bidang perpajakan.
Seperti diketahui, bentuk kejahatan pajak berubah-ubah seiring dengan berkembangnya teknologi dan globalisasi. Pemanfaatan celah-celah peraturan pajak suatu negara terus digali berbagai pihak untuk menghindari kewajiban pajak.
Merespons hal tersebut, penambahan dan penguatan kewenangan penyidik pajak menjadi salah satu kunci untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (OECD, 2017).
Kedua, pengembalian kerugian keuangan negara (recovery rate) dalam tindak pidana perpajakan masih sangat kecil. Ditjen Pajak (DJP) menyatakan pada 2018 sampai dengan 2020, persentase pidana denda yang dibayarkan dalam sengketa perpajakan hanya sebesar 0,05%.
Penegakan hukum pajak menjadi agenda penting yang seharusnya diikuti dengan upaya optimalisasi penagihan pajak. Terlebih lagi, pada 2020, penerimaan pajak menyumbang 78% terhadap pendapatan negara (BPK, 2021).
Sebagai perbandingan, praktik penyitaan aset dalam rangka pemulihan kerugian negara dapat dilihat dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyitaan dan pelelangan aset dapat dilaksanakan KPK untuk menutupi uang pengganti yang dibebankan kepada terdakwa korupsi sebagai pidana tambahan.
Merujuk pada laporan keuangan KPK dalam 5tahun terakhir (2016-2020), total aset korupsi yang dapat dipulihkan dan dikembalikan kepada negara senilai Rp1,74 triliun.
Ketiga, penyitaan aset selama proses penyidikan pajak bertujuan untuk mencegah perpindahan harta kekayaan wajib pajak. Selain untuk mencegah perpindahan aset, penyitaan tersebut dilakukan untuk menghindari penghancuran atau penghilangan barang bukti (Brun et al, 2011).
Keempat, tindakan penyitaan untuk mempermudah proses asset recovery. Menurut European Commission, pemulihan utang pajak merupakan elemen penting dari sistem perpajakan yang adil dan dapat berkontribusi memerangi kejahatan pajak.
Jika wajib pajak terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana, harta kekayaan yang sudah disita dapat dilakukan pelelangan dalam rangka pengembalian keuangan negara (Brun et al, 2011). Selain itu, dengan adanya penyitaan aset, pemerintah memperoleh jaminan dan kepastian wajib pajak akan membayarkan utang pajaknya kepada negara (Gordon, 1996).
PENEGAKAN hukum pidana perpajakan berbasis pemulihan kerugian masih menghadapi berbagai tantangan. Misalnya, ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur apabila pidana denda tidak dibayar maka dapat disubsider dengan pidana kurungan.
Dalam konteks itu, hakim masih cenderung menjatuhkan putusan pidana denda yang dapat disubsider dengan pidana kurungan ketimbang memerintahkan penyitaan aset wajib pajak untuk melunasi denda.
Temuan DJP terkait dengan sengketa pidana perpajakan atas putusan hakim yang telah inkracht pada 2017โ2020 menunjukkan sekitar 83% dari total nilai pidana denda disubsider dengan pidana kurungan.
Kemudian, sebanyak 80,6% wajib pajak lebih memilih untuk menjalani hukuman pidana kurungan, yang merupakan pidana subsider, ketimbang membayar denda. Akibatnya, pemulihan atas kerugian keuangan negara makin jauh tercapai.
Sebenarnya, Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2020 yang mengatur penerapan sita eksekusi dan pelelangan atas aset dari terdakwa/wajib pajak dalam sengketa pidana perpajakan. Penyitaan dan pelelangan tersebut bertujuan untuk menutupi denda yang tidak dibayarkan terdakwa/wajib pajak.
Rencana pemerintah untuk menambah kewenangan penyidik pajak menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menegakkan hukum pidana perpajakan.
Apabila ketentuan penyitaan dan asset recovery oleh penyidik pajak benar-benar diterapkan maka perlu adanya mekanisme transparasi sehingga masyarakat juga dapat melakukan pengawasan terhadap penyidik pajak. Dengan demikian, proses check and balances juga dapat berlangsung.
Sesuai dengan pernyataan Kementerian Keuangan, penegakan hukum pidana yang diakhiri pidana penjara atau kurungan tanpa penerapan pemulihan kerugian pada pendapatan negara adalah kesia-siaan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalamย lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaanย HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 jutaย di sini.