Indrajaya Burnama,
SEKITAR 14 tahun lalu, Anthurium membuat sebagian orang menjadi kaya. Namun, tanaman itu juga membuat sebagian orang bangkrut. Sebelumnya hanya tanaman biasa dengan harga tak seberapa, jenis Gelombang Cinta, Jenmanii Kobra, dan Supernova mulai banyak diburu warga.
Pada 2006 dan 2007, harganya melambung hingga miliaran rupiah sehingga mengalahkan emas dan perhiasan lainnya. Saat itu, bisnis Anthurium merajalela. Jenmanii Kobra berdaun 20 helai bisa dihargai sampai dengan Rp260 juta. Tidak tanggung-tanggung, 1 pot Supernova bisa dihargai hingga Rp1 miliar.
Semua lapisan masyarakat, baik orang melarat maupun konglomerat, pada akhirnya berlomba-lomba membeli dan menjualnya lagi dengan harapan untung tinggi. Fenomena Anthurium pun terus berulang dengan kemiripan substansi.
Berawal dari kondisi biasa dengan harga tak seberapa. Kemudian, berbalik dengan harga yang tiba-tiba melonjak tinggi. Semua dibalut atas nama hobi. Ada ikan Louhan, ikan Arwana, serta Love Bird yang harganya fantastis. Terakhir adalah tanaman Janda Bolong yang sangat populer saat pandemi.
Harus diakui, perputaran uang dalam bisnis hobi sangatlah tinggi. penelitian Chatib Basri (2020) menyatakan ada pergeseran konsumsi orang kaya selama pandemi. Sebelumnya, mereka biasa melakukan belanja nonesensial tinggi untuk traveling serta membeli barang mewah dan properti.
Sekarang, kelompok masyarakat kaya menggeser alokasi belanjanya untuk tanaman atau hewan hias. Konsumsi yang dilakukan kelompok masyarakat ini untuk memenuhi hobi dan kebosanan karena tuntutan work from home (WFH).
Belajar dari Anthurium, Herlina (2008) menduga adanya skenario bisnis berdagang tanaman oleh sekelompok orang kaya untuk menebalkan dompetnya. Setelah mengeruk duit dari bisnis tersebut, mereka lari tanpa kabar berita.
Dalam pajak, mereka disebut high wealth individual. Masyarakat kita juga sering memberikan julukan untuk kelompok ini sebagai crazy rich. Ada kemungkinan mereka melakukan perencanaan pajak secara agresif untuk mengelak dari kewajiban pajaknya (OECD, 2009).
Penelitian OECD juga menyimpulkan kecilnya peran perpajakan para orang kaya di suatu negara dibandingkan dengan jumlah yang seharusnya. Dalam jangka panjang, hal itu tentu berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak wajib pajak lainnya.
Bagaimanapun, perilaku mereka pasti menjadi panutan sebagian warga. Ditambah lagi, populasi high wealth individual atau crazy rich di Indonesia, menurut riset terbaru Credit Suisse (2021), justru meningkat di tengah gempuran pandemi Covid-19.
Karakteristik bisnis hobi juga mirip dengan shadow economy. Menurut klasifikasi United Nations (2008), salah satu sektor shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang tidak dapat diobservasi karena dilakukan secara informal.
Salah satu contoh dari aktivitas shadow economy ini adalah penjualan langsung produk-produk pertanian. Bisnis hobi di atas jelas merupakan adanya jual beli langsung produk pertanian yang juga mencakup produk perikanan sekaligus peternakan.
Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 2020, struktur perekonomian suatu negara berpengaruh besar terhadap rasio pajak. Kontribusi sektor pertanian Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) termasuk yang tertinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Kontribusinya sekitar 10% terhadap PDB. Namun, di sisi lain, andil pajaknya hanya sekitar 1,5%.
Hammer (2018) menyebut tax ghost atau “hantu pajak” untuk individu atau bisnis yang bersembunyi dibalik shadow economy. Sebutan tersebut dipilih lantaran keberadaannya sulit dibuktikan tetapi nyata adanya.
Sama halnya ketika kita mempertanyakan siapakah pihak yang paling banyak memperoleh keuntungan dari Anthurium dan Janda Bolong? Jika merujuk pendapat Herlina maka jawabannya adalah sekelompok orang kaya yang bersepakat menciptakan pasar dengan membuat skenario sesaat.
Mereka mampu mempengaruhi masyarakat luas untuk ikut terlibat bisnis hobi dengan iming-iming untung tinggi. Ada sebagian masyarakat yang larut berbisnis atau sekadar menjadikannya usaha sampingan. Namun, satu yang pasti, agregat bisnis hobi makin melejit. Sekelompok orang kaya itu berlindung dibalik riuh masyarakat yang tidak tercatat serta tidak teradministrasi sama sekali.
BERCERMIN dari fakta-fakta di atas, pemerintah perlu membuat sistem administrasi pajak khusus untuk menelusuri orang kaya yang terlibat dalam shadow economy.
Langkah itu tentu tidaklah mudah, tetapi dapat direalisasikan dengan mengelaborasi pendapat Hammer dan panduan yang dibuat IMF. Jika melihat dinamika sekarang, relokasi wajib pajak orang pribadi kaya ke KPP Madya pada akhir Mei lalu – sebagai bagian reformasi pajak – merupakan langkah yang sangat tepat dengan dua catatan.
Pertama, perlunya menguatkan peran instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) dalam pemberian data dan informasi pajak. Bagaimanapun, penerapan self assessment system sangat membutuhkan dukungan banyak data dan informasi.
Data and information matching atas pelaksanaan kewajiban perpajakan para wajib pajak sangat dibutuhkan. Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan 1 penduduk Indonesia bisa memiliki 40 identitas sehingga mempersulit kinerja perpajakan.
Penguatan peran ILAP dapat dilakukan dengan mengenakan sanksi jika mereka tidak memberikan data dan informasi pajak melalui amandemen Pasal 35A KUP pada tahun ini. Sebagai langkah awal, data dan informasi ILAP dapat difokuskan kepada orang kaya. Memodifikasi pendapat Hammer, penguatan data dan informasi pajak merupakan kunci pengawasan shadow economy yang dilakukan orang kaya.
Kedua, perlunya optimalisasi compliance risk management (CRM) yang diterapkan DJP sejak 2019 untuk mengawasi pajak orang kaya. Data dan informasi pajak orang kaya yang diperoleh dari berbagai ILAP dijadikan sebagai bahan bakar CRM khusus orang kaya.
Hal tersebut perlu dilakukan mengingat kompleksitas usaha dan sumber penghasilan orang kaya. Harapannya, berawal dari hobi, akan terkuak pajak tersembunyi orang kaya yang terlibat shadow economy pada masa pandemi.
Jadi, dibalik fenomena bisnis Janda Bolong, ada dugaan keterlibatan sekelompok orang kaya yang lari dari kewajiban pajak. Hal ini mesti tuntas ditangani agar negara tidak rugi berulang kali.
Pepatah Perancis menyatakan L'Histoire se Répète. Sejarah mengulang dirinya sendiri. Janda Bolong masih eksis sampai hari ini. Namun, pasti akan ada produk lain yang disiapkan para “hantu pajak” kaya sebagai pengganti pada masa mendatang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.