JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyebut masih banyak penambang batu bara yang tidak menyetorkan pajak ke kas negara meski sudah terdaftar sebagai wajib pajak.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi DJP dalam memajaki wajib pajak sektor pertambangan batu bara adalah sulitnya mengawasi struktur biaya dari pelaku usaha sektor tersebut.
"Struktur cost of goods sold itu harus kita akui tidak sama untuk setiap wajib pajak," ujar Ihsan dalam seminar Kolaborasi Optimal Menuju Pajak Adil dan Konsisten (Kompak) yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025).
Tantangan pemajakan atas wajib pajak sektor batu bara juga diperparah oleh kompleksitas struktur grup perusahaan pertambangan batu bara.
Struktur grup perusahaan yang kompleks meningkatkan risiko manipulasi transfer pricing pada sektor pertambangan batu bara. Terlebih, banyak perusahaan tambang yang membutuhkan jasa dari pihak afiliasi atau related parties dalam melaksanakan bisnisnya.
"Kalau kita bicara related parties, pasti ada risiko transfer pricing. Belum lagi ketika bicara invoice, kalau related parties bisa ada overinvoiving atau underinvoicing dan juga transaksinya mungkin bisa banyak layer," ujar Ihsan.
Berkaca pada kondisi di atas, DJP telah mengembangkan compliance risk management (CRM) khusus sektor minerba. Dalam CRM khusus dimaksud, DJP memanfaatkan 27 variabel yang bersifat spesifik guna mendeteksi indikasi ketidakpatuhan wajib pajak penambang batu bara.
CRM memberikan rekomendasi treatment terhadap wajib pajak. Rekomendasi tersebut nantinya akan ditindaklanjuti oleh unit vertikal terkait.
"Rekomendasi treatment terhadap wajib pajak mineral dan batu bara selama 2020 hingga 2024 mayoritas adalah pemeriksaan. Memang risiko kepatuhan di sektor ini cukup tinggi. Aktivitas pengawasan dan pemeriksaan itu nilainya bisa hampir mendekati 90%," ujar Ihsan.
Terlepas dari beragam tantangan yang ada, Ihsan menegaskan bahwa setiap tahapan dalam kegiatan usaha pertambangan selalu memiliki potensi pajak, baik secara langsung dari wajib pajak pelaku usaha tambang maupun dari wajib pajak yang memberikan jasa kepada penambang.
"Kalau kita bicara eksplorasi, 'kan pasti ada jasa konsultan dan jasa survei. Misal di tahap pemasaran, ada jasa bongkar muat. Itu di setiap aktivitasnya memang ada pajaknya," ujar Ihsan. (dik)
