SHADOW economy atau ekonomi yang tidak terdeteksi pemerintah, menjadi sumber masalah tidak optimalnya pemungutan pajak.
Dalam salah satu makalahnya yang berjudul ‘Tax Ghost: Spectres of the Shadow Economy’, Mike Hammer mengurai bagaimana wajib pajak yang tidak patuh bersembunyi di balik bayang-bayang sektor tersebut.
Hammer menggunakan istilah tax ghost untuk merujuk pada individu atau bisnis yang bersembunyi di balik shadow economy. Sebab, seperti yang diungkapkannya dalam tulisan tersebut, tax ghost sulit dibuktikan keberadaannya. Namun, kita tahu mereka benar-benar ada.
Dalam tulisannya, salah satu Editor Bulletin for International Taxation IBFD tersebut mendiskusikan dampak yang ditimbulkan dari shadow economy. Pembahasan terutama bagaimana shadow economy memberi insentif bagi pelaku ekonomi formal memindahkan sebagian atau seluruh aktivitasnya ke dalam area tersebut.
Shadow economy menjadi habitat favorit bagi ‘hantu-hantu’ tersebut, Sebab, mereka menggunakan keberadaannya yang tidak terlacak untuk melalaikan kewajiban pajak. Akibatnya, kebutuhan penerimaan pajak tertumpuk pada sektor formal saja.
Di bagian awal makalah, Mike Hammer menguraikan terlebih dahulu definisi dan ruang lingkup shadow economy yang dimaksud dalam analisisnya. Dengan demikian, pembaca dapat membedakan aktivitas ekonomi seperti apa yang termasuk dalam area tersebut dan yang tidak.
Penulis memilih mengacu pada definisi yang digunakan oleh OECD Forum on Tax Administration pada 2017, yaitu:
“Economic activities, whether legal or illegal, which are required by law to be fully reported to the tax administration, but which are not reported, and which therefore go untaxed unlike activities which are so reported.”
Mengacu pada definisi di atas, Hammer menjelaskan bagaimana mereka pada umumnya hanya dapat diestimasi secara agregat. Padahal, terdapat berbagai macam bentuk aktivitas di sana. Tax ghost yang bernaung di dalamnya juga bermacam-macam sehingga untuk menarik mereka dibutuhkan upaya yang berbeda.
Sudut pandang seperti ini jelas akan membuat para pembaca tertarik untuk menyimak ulasannya hingga akhir. Mike Hammer menggunakan analogi otoritas pajak sebagai pembasmi hantu atau ghostbuster yang berusaha mengusir para tax ghost tersebut hingga terungkap siapa mereka sebenarnya.
Berdasarkan penyebabnya, Hammer membagi mereka menjadi dua jenis. Pertama, pelaku ekonomi tersebut yang dimaksud memang tidak sengaja atau tidak tahu akan kewajiban pajaknya. Kesadaran yang rendah menyebabkan mereka sendiri tidak sadar kalau mereka sudah menjadi ‘hantu’ dalam sistem pajak.
Kedua, pelaku ekonomi secara sengaja berlindung dalam bayangan agar bisa mengurangi kewajiban pajaknya. Mereka melihat adanya peluang dan manfaat dari berlindung dalam shadow economy. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menggunakan kesempatan tersebut karena memiliki moral pajak yang rendah.
Dalam menguraikan strategi pembasmian tax ghost, Mike Hammer tidak menawarkan suatu terobosan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Intinya, solusi yang ditawarkan mengacu pada bagaimana pemerintah harus memberantas shadow economy melalui pertukaran informasi yang efektif serta penggunaan berbagai sumber data untuk melakukan data matching.
Secara administrasi, penulis menggunakan contoh penerapan di berbagai negara untuk memperketat registrasi, pencatatan, serta monitoring terhadap aktivitas ekonomi yang berisiko menjadi tax ghost. Jika dilakukan secara optimal, diyakini akan tercipta basis pajak yang lebih luas serta mengurangi munculnya tax ghost yang baru.
Makalah yang diterbitkan IBFD ini menarik untuk disimak dan memberikan perspektif segar bagi para pemerhati fiskal dan ekonom. Kita akan lebih belajar mengenai karakteristik shadow economy dan mengapa sebagian pelaku ekonomi nyaman berada di sana.
Namun, untuk belajar lebih jauh bagaimana memberantasnya, kita masih disuguhkan beberapa solusi umum dan tidak cukup praktis. *