LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Anomali 2025: Ekonomi Tumbuh Tinggi, Kemiskinan Turun, Pajak Melemah

Redaksi DDTCNews
Kamis, 23 Oktober 2025 | 15.00 WIB
Anomali 2025: Ekonomi Tumbuh Tinggi, Kemiskinan Turun, Pajak Melemah
Ai Dewi Robiatul Adawiah,
Kota Bekasi, Jawa Barat

SEPANJANG 2025 ini perekonomian Indonesia masih menunjukkan tren positif, kendati dihadapkan pada dinamika global yang tak pasti.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 sebesar 5,12% (yoy). Capaian ini cukup mengagetkan karena banyak pihak memprediksi kinerja ekonomi RI tidak akan tumbuh melebihi 5%. Apalagi, belanja masyarakat tengah tertekan dan kinerja sektor manufaktur yang terkontraksi.

Capaian positif perekonomian Indonesia juga didukung dengan perbaikan pada indikator makro maupun sosial, salah satunya yaitu penurunan tingkat kemiskinan nasional yang makin konsisten dari tahun ke tahun. Data BPS terbaru mencatat tingkat kemiskinan Indonesia telah turun menjadi 8,47% atau sekitar 23,85 juta jiwa pada Maret 2025, lebih rendah dibanding periode sebelumnya sebesar 9,03%.

Penurunan ini didukung oleh stabilitas ekonomi, pengendalian inflasi, serta penguatan program perlindungan sosial yang mampu menjaga daya beli masyarakat.

Namun demikian, semua kinerja cemerlang di atas masih dibayangi beberapa tantangan. Salah satunya, ketimpangan pendapatan yang masih mencolok. BPS mencatat rasio gini Indonesia pada Maret 2025 senilai 0,375, relatif stabil tetapi masih menunjukkan ketimpangan moderat.

Capaian-capaian positif atas perekonomian RI juga belum selaras dengan kinerja penerimaan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Pada semester I/2025 misalnya, penerimaan pajak terkontraksi sebesar 6,21% (yoy) dengan realisasi hanya senilai Rp837,8 triliun.

Bila diperinci per jenis pajak, tercatat realisasi PPh badan pada semester I/2025 baru senilai Rp152,49 triliun, turun 11,7% bila dibandingkan dengan penerimaan PPh badan pada semester I/2024. Adapun realisasi PPN dan PPnBM tercatat masih senilai Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7%. Sementara itu, realisasi PPh orang pribadi tercatat mampu mencapai Rp14,03 triliun dengan pertumbuhan sebesar 35,6%.

Anomali dan Akar Masalahnya

Berdasarkan penjabaran di atas, kita bisa melihat adanya anomali di tengah perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi terbilang positif, ditambah juga dengan tingkat kemiskinan yang menurun. Namun, pada saat yang sama penerimaan pajak justru terkontraksi.

Mengapa muncul ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi, kondisi kesejahteraan, dan kinerja perpajakan?

Fenomena ini mengindikasikan bahwa meskipun aktivitas ekonomi dan kualitas hidup masyarakat membaik, kontribusinya terhadap basis penerimaan negara masih terbatas.

Kita perlu melihatnya dengan sudut pandang yang lebih luas: akar masalahnya ada pada tantangan struktural dalam sistem perpajakan Indonesia. Sistem pajak nasional masih didominasi sektor informal. Belum lagi, kebijakan insentif fiskal yang terlampau luas, serta masih lemahnya pemajakan di sektor-sektor baru yang tumbuh pesat.

Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk memperkuat basis pemajakan, meningkatkan kepatuhan, serta mengoptimalkan peran perpajakan dalam menopang pembangunan yang berkelanjutan.

Rekomendasi

Untuk memperluas basis pemajakan tanpa membebani kelompok rentan, pemerintah perlu menerapkan strategi yang menitikberatkan pada optimalisasi kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi, sektor usaha dengan keuntungan besar, serta aktivitas ekonomi yang menimbulkan eksternalitas negatif.

Pertama, pajak kekayaan dan properti mewah perlu diperkuat melalui penerapan tarif progresif terhadap kepemilikan aset bernilai tinggi, rumah kedua atau lebih, serta kendaraan premium. Sistem penilaiannya perlu mencerminkan harga pasar aktual.

Kebijakan ini harus diimbangi dengan pembebasan atau tarif ringan bagi rumah sederhana dan aset produktif milik masyarakat kecil agar tidak menekan daya beli.

Kedua, sektor-sektor yang memperoleh windfall profit dari kenaikan harga komoditas global, seperti pertambangan dan migas, dapat dikenakan pajak tambahan (windfall tax).

Penerimaan dari sektor ini sebaiknya dialokasikan untuk memperkuat perlindungan sosial, mendukung subsidi energi bersih, dan membiayai pembangunan infrastruktur dasar.

Ketiga, penerimaan negara juga dapat diperluas melalui instrumen pajak karbon dan cukai baru atas barang konsumsi non-esensial, seperti minuman berpemanis, plastik sekali pakai, serta produk yang merugikan kesehatan dan lingkungan.

Hasil penerimaan dari pos ini dapat diarahkan untuk mendukung pembiayaan transisi energi hijau sekaligus menciptakan lapangan kerja padat karya yang inklusif.

Selain itu, sejumlah sektor utama yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi harus memberikan kontribusi fiskal yang lebih proporsional. Pada sektor perdagangan, penguatan penerimaan dapat dilakukan dengan mendorong digitalisasi transaksi, sehingga aliran kegiatan usaha lebih transparan dan terekam tanpa menambah beban kepatuhan bagi UMKM kecil.

Sektor transportasi dan pergudangan dapat dioptimalkan melalui penerapan mekanisme perpajakan berbasis emisi dan pemantauan digital atas aktivitas logistik, yang tidak hanya menambah penerimaan negara, tetapi juga mendorong efisiensi rantai pasok. Di sektor konstruksi, penerapan sistem pemotongan PPh yang lebih ketat pada proyek konstruksi besar dan evaluasi insentif fiskal yang tepat.

Sektor pertambangan yang kerap memperoleh windfall profit dari dinamika harga komoditas global perlu dikenai pungutan tambahan berbasis keuntungan berlebih, serta penyesuaian royalti agar sesuai dengan harga pasar.

Sementara itu, sektor digital dan jasa keuangan perlu dikenai regulasi perpajakan yang lebih adaptif agar sesuai dengan besarnya nilai tambah yang diciptakan, dan insentif fiskal bagi industri besar harus dievaluasi ulang agar tidak menurunkan basis pajak.

Untuk memperkuat keadilan, kepatuhan pajak individu berpendapatan tinggi juga harus ditingkatkan melalui pemanfaatan data global (Automatic Exchange of Information) dan penegakan hukum atas praktik penghindaran pajak.

Dengan kombinasi kebijakan ini, perluasan basis pajak dapat dicapai secara adil, penerimaan negara dapat kembali meningkat, dan pada saat yang sama kelompok masyarakat rentan tetap terlindungi sehingga momentum pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan dapat terus berlanjut.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.