DI tengah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi pascapandemi, isu penciptaan lapangan kerja selalu menjadi prioritas utama. Terlebih, Indonesia menghadapi tantangan bonus demografi dengan terus bertambahnya angkatan kerja baru setiap tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2025 sudah mencapai 7,28 juta orang, naik sekitar 83.000 orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 7,19 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi hanya bisa terwujud bila ada kebijakan yang secara aktif menghubungkan instrumen fiskal dengan penciptaan lapangan kerja. Dengan kata lain, kesempatan kerja bukan hanya tanggung jawab sektor swasta, melainkan juga negara melalui kebijakan pajaknya.
Lantas, bisakah pajak menjadi alat langsung untuk menyerap tenaga kerja sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi? Salah satu cara yang bisa ditempuh ialah melalui Employment-Linked Tax Credit (ELTC), sebuah skema insentif pajak yang mengaitkan keringanan fiskal dengan keberhasilan perusahaan menciptakan lapangan kerja.
Sejauh ini, konsep tersebut belum pernah diadopsi secara eksplisit di Indonesia. Namun, potensinya besar sebagai game changer dalam menghubungkan kebijakan pajak dengan pembangunan ekonomi inklusif.
Selama ini, insentif pajak di Indonesia lebih banyak diarahkan pada sektor investasi dan industri strategis, seperti tax holiday, tax allowance, serta super deduction untuk vokasi dan riset.
Pemerintah juga mengatur insentif berbasis penciptaan nilai tambah, misalnya melalui PMK 128/2019 tentang super deduction pelatihan kerja. Namun, belum ada insentif yang secara langsung mengaitkan pengurangan pajak dengan jumlah pekerja yang direkrut.
Di sinilah ELTC menawarkan terobosan. Prinsipnya sederhana: perusahaan yang menambah tenaga kerja formal memperoleh kredit pajak proporsional. Makin banyak pekerjaan yang tercipta, makin besar pula manfaat pajak yang diperoleh. Dengan begitu, pajak tidak hanya menjadi instrumen penerimaan, tetapi juga katalis pertumbuhan ekonomi berbasis tenaga kerja.
Secara makro, gagasan ELTC sejalan dengan Okun’s Law yang menunjukkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi (output) dan penurunan tingkat pengangguran.
Setiap peningkatan PDB biasanya menurunkan pengangguran, tetapi tidak selalu proporsional. ELTC dapat memperkuat hubungan ini melalui dorongan fiskal yang langsung menargetkan penciptaan kerja.
Jika digambarkan dalam kurva sederhana, penerapan ELTC setara dengan pergeseran kurva hubungan pertumbuhan ekonomi dan pengangguran ke arah atas. Artinya, pada tingkat pengangguran yang sama, PDB bisa lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
Hal ini bisa terjadi karena ELTC mendorong perusahaan merekrut lebih banyak tenaga kerja. Dampak gandanya pun nyata: konsumsi meningkat, daya beli terjaga, dan pertumbuhan ekonomi bergerak lebih cepat.
Secara praktis, implementasi ELTC dapat dilakukan melalui regulasi PPh Badan. Misal, untuk setiap tambahan 10 pekerja tetap yang direkrut perusahaan akan mengurangi penghasilan kena pajak sebesar 1–2%.
Agar tepat sasaran, insentif tersebut dapat diprioritaskan bagi sektor-sektor padat karya seperti manufaktur, pertanian modern, pariwisata, serta UMKM yang berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja.
Lebih jauh, mekanisme tersebut juga dapat diintegrasikan dengan sistem administrasi DJP. Laporan realisasi penyerapan tenaga kerja dapat diverifikasi melalui SPT tahunan. Dengan dukungan coretax system, validasi data bukan hal mustahil.
ELTC bahkan berpotensi meningkatkan kepatuhan sukarela karena manfaat fiskal langsung terlihat dalam strategi bisnis wajib pajak.
Berbeda dengan insentif investasi yang dampaknya sering baru terasa dalam jangka panjang, ELTC menawarkan hasil yang lebih cepat. Begitu perusahaan mendapat potongan pajak karena merekrut pekerja baru, manfaat langsung dirasakan. Lebih banyak warga bekerja, pendapatan rumah tangga naik, konsumsi meningkat, dan roda ekonomi berputar lebih kencang.
Bagi pemerintah, penerimaan pajak berpotensi berkurang dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka menengah hingga panjang, basis pajak akan makin luas seiring meningkatnya aktivitas ekonomi. Dengan kata lain, short-term cost tertutup oleh long-term gain.
Penulis meyakini ELTC merupakan inovasi fiskal yang relevan dengan kebutuhan Indonesia saat ini. Skema ini menjawab 2 tantangan sekaligus: memperkuat basis penerimaan pajak di masa depan dan menekan pengangguran yang masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Jika pajak dapat bertransformasi dari sekadar instrumen fiskal menjadi alat pemberdayaan rakyat maka ia benar-benar menjadi bentuk gotong royong modern. ELTC bisa menjadi kunci agar setiap rupiah pajak yang dikelola kembali dalam bentuk kesempatan kerja nyata bagi masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.