
SEJAK lahir melalui penerbitan Undang-Undang (UU) 39/2009, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terus mengalami perkembangan. Jumlahnya terus bertambah, tersebar di banyak titik di Indonesia.
Menurut Laporan Dewan Nasional KEK, hingga 2024, jumlah KEK di Indonesia mencapai 24 kawasan. Guna mendukung perekonomian di KEK, pemerintah pun telah menggelontorkan insentif kumulatif senilai Rp263,4 triliun.
Peran KEK dalam mendukung perekonomian nasional tak boleh dipandang sebelah mata. KAK digadang-gadang menjadi program prioritas yang berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun ke depan.
Oleh karena itu, berbagai insentif termasuk insentif perpajakan digelontorkan untuk mendukung kinerja KEK. Namun, di balik harapan besar tersebut, timbul pertanyaan terkait efektivitas kinerja KEK, termasuk efektivitas skema insentif yang sudah diberikan oleh pemerintah.
Data-data statistik mengindikasikan pemanfaatan insentif perpajakan untuk KEK belum optimal. Laporan Belanja Perpajakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pada 2023 mencatat pemanfaatan insentif di KEK hanya Rp36 miliar.
Data lainnya, Jurnal Akuntansi Terapan Indonesia menyebutkan bahwa tax allowance yang ditawarkan di KEK tidak terserap optimal. Sepanjang 2020 hingga 2023 hanya Rp6,9 triliun tax allowance yang terealisasi dari target Rp74,55 triliun. Sementara itu, industri di KEK dalam data BKF (2023) hanya memanfaatkan Rp1 miliar dari angka tersebut.
Tantangan KEK tidak berhenti pada pemanfaatan insentif yang belum maksimal. Masalah lainnya, kinerja kawasan yang tidak merata. Pada 2024 misalnya, dari 24 KEK, hanya 4 KEK yang menunjukkan performa capaian investasi KEK di atas Rp20 triliun, yaitu Gresik, Kendal, Galang Batang, dan Sei Mangkei (Indonesia SEZ, 2024).
Keempat KEK tersebut berlokasi di Jawa dan Sumatera. Selebihnya, capaian investasi KEK hanya di bawah Rp6 triliun, bahkan beberapa masih di bawah Rp500 miliar. Misalnya, KEK Sorong, Maloy Batuta, dan Tanjung Sauh yang masih belum menunjukkan capaian berarti sejak 2016. Selain itu, terdapat kecenderungan wajib pajak pindah dari luar KEK ke dalam KEK di Jawa dan Sumatera.
Apa Akar Masalahnya?
Penulis memandang skema insentif KEK di Indonesia belum kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain. Studi komparatif menyebutkan bahwa Indonesia masih kalah dengan Thailand sehubungan dengan kecepatan perizinan, kemudahan birokrasi, dan respons kebijakan (Sean Institute Journal, 2023).
Sebagai pembanding, di Thailand, proses perizinan dan insentif diberikan satu pintu melalui Board of Investment, alih-alih multi kementerian seperti di Indonesia.
Bila dihadapkan dengan China (Shenzhen) dan Uni Emirat Arab (Free Zones), proses pemberian izin dan insentif di sana juga lebih sederhana dan konsisten. Terlebih di negara-negara tersebut, proses pengajuan untuk izin berusaha dan permohonan insentif dilakukan sepenuhnya secara digital.
Di negara lain (China dan UEA), perizinan dan persetujuan insentif dapat diperoleh sangat cepat dalam hitungan hari. Tak heran bila Free Zones di UEA berhasil menyumbang 30% produk domestik bruto (PDB) nonmigas.
Beberapa masalah yang dibahas di atas menunjukkan pentingnya evaluasi insentif KEK yang telah diberikan. Guna mengoptimalkan insentif untuk KEK di Indonesia, perlu adanya komparasi dengan negara lain yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan kebijakan.
Singapura, dalam Economic Development Board (2024), menerapkan insentif berbasis kinerja untuk kawasan khusus. Skema ini disebut Pioneer Certificate Incentive (PCI) dan Development & Expansion Incentive (DEI).
Negeri Singa akan memberikan insentif jika investor terbukti berkontribusi terhadap ekspor dan sektor prioritas. Singapura menggunakan analisis ex ante melalui metode kuantitatif dan kualitatif dari proposal investor. Ukuran yang digunakan, antara lain penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, serta penggunaan teknologi baru.
Indonesia dapat mengadopsi skema tersebut dengan cara mengubah syarat eligibilitas KEK untuk dapat memperoleh insentif. Untuk meningkatkan motivasi perusahaan dalam meningkatkan performa, insentif perlu berfokus pada output terukur seperti ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan penciptaan teknologi.
Selama ini, insentif pengurangan PPh badan untuk KEK di Indonesia hanya berdasarkan durasi sejak perusahaan berdiri dan nilai investasi. Bila skema tadi diterapkan, insentif akan lebih tepat sasaran dan tidak serta merta mendorong wajib pajak eksisting di luar KEK untuk pindah ke KEK.
Dalam rangka pemerataan kinerja kawasan, Indonesia juga perlu mengombinasikan pola zona tematik dengan zonasi lokasi. Sebagai contoh, Vietnam menetapkan zona ekonomi khusus untuk sektor berteknologi tinggi dan ekspor.
Selain itu, Techno Valley di Korea Selatan berfokus pada zona berbasis riset dan inovasi. Perusahaan yang memenuhi syarat tersebut akan memperoleh insentif pajak lebih tinggi.
Di Indonesia, selama ini KEK dengan performa yang optimal hanya berpusat di zonasi Jawa dan Sumatera. Pemerintah memang mulai membentuk KEK tematik seperti KEK Edukasi, Teknologi, dan Kesehatan Internasional Banten serta KEK Pariwisata Kesehatan Internasional Batam. Namun, keduanya juga masih berputar di area Jawa dan Sumatera serta belum menghasilkan capaian pada 2024 (Indonesia SEZ, 2024).
Penulis memandang perlu ada zonasi tematik yang berlokasi di luar Jawa dan Sumatera agar pembangunan lebih merata. Selain itu, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan insentif pajak bagi KEK tematik yang berlokasi di luar Jawa dan Sumatera.
Besaran dan skema pemberian insentif untuk KEK yang berlokasi di Jawa dan Sumatera hendaknya juga perlu dikaji ulang agar lebih tepat sasaran.
Dalam rangka meningkatkan daya saing, Indonesia perlu mengadopsi sistem digital terintegrasi seperti yang digunakan di China dan UEA. Proses perizinan KEK perlu dibuat satu pintu dan dilakukan sepenuhnya secara digital serta terintegrasi untuk seluruh kementerian maupun lembaga.
Selain itu, evaluasi perlu dilakukan secara rutin, real time, serta dapat dilakukan pencabutan insentif bila komitmen investor tidak sesuai. Hal ini pun harus didampingi dengan kemudahan birokrasi, perizinan, dan kenyamanan berusaha.
Bukankah Indonesia sudah punya Online Single Submission (OSS) yang menyediakan kelebihan-kelebihan di atas?
Ya, Indonesia memang memiliki OSS yang dikoordinasi oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi (BPKM). Namun, sistem tersebut belum terintegrasi antarkementerian.
Sebagai contoh, dalam PMK 33/2021, perusahaan harus melaporkan realisasi penanaman modal dan realisasi produksi secara terpisah kepada dirjen pajak. Dengan demikian, data menjadi silo dan terfragmentasi. Di samping itu, proses birokrasi juga menjadi lebih lama.
Beberapa skema dari beberapa negara di atas dapat dijadikan landasan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan insentif perpajakan untuk KEK yang telah berjalan.
Tentu saja keberhasilan KEK tidak hanya semata-mata dikarenakan perbaikan sistem insentif perpajakan. Namun, diperlukan koordinasi dan dukungan berbagai pihak untuk mengoptimalkan kinerja KEK termasuk pemberian insentif nonfiskal seperti kemudahan berusaha. Dengan demikian, KEK diharapkan dapat menjadi salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dapat diandalkan. (sap)
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.
