LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Kolaborasi Pusat dan Daerah untuk Optimalisasi Pajak UMKM

Redaksi DDTCNews
Kamis, 26 September 2024 | 18.24 WIB
ddtc-loaderKolaborasi Pusat dan Daerah untuk Optimalisasi Pajak UMKM

Maulana Robbi Felani,

Kabupaten Sidoarjo - Jawa Timur

PERAN UMKM sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2023, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai sekitar 66 juta. Kontribusi UMKM mencapai 61% pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia atau setara dengan Rp9.580 triliun. Selain itu, UMKM juga mampu menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97% dari total tenaga kerja.

Adapun klasifikasi lapangan usaha (KLU) terbanyak yang dijalankan UMKM di Indonesia adalah industri makanan; industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furniture), serta barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya; industri minuman, serta industri pakaian jadi (Badan Pusat Statistik, 2024).

Mengingat besarnya porsi UMKM dalam perekonomian Indonesia, pemberdayaan UMKM sangatlah krusial. Tujuan dari pemberdayaan UMKM tersebut bahkan telah dimuat dalam Undang-Undang (UU) UMKM yang telah diubah terakhir melalui UU Cipta Kerja. Setidaknya ada tiga tujuan pemberdayaan UMKM dalam undang-undang tersebut.

Pertama, mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Ketiga, meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Mengingat pentingnya UMKM, pemerintah juga memberikan dukungan dari sisi kebijakan pajak. Salah satu wujud dukungan itu telah masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55 Tahun 2022 yang menjadi aturan turunan dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pemerintah memberlakukan kebijakan pajak untuk pelaku ekonomi dengan peredaran usaha tertentu, yakni tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Kebijakan ini sering disebut dengan rezim PPh final wajib pajak UMKM. Pascaberlakunya UU HPP yang turut memuat revisi atas UU Pajak Penghasilan, ada kebijakan batasan omzet tidak kena pajak.

Secara umum, kebijakan rezim PPh final UMKM yang berlaku saat ini masih dibagi untuk orang pribadi dan badan. Untuk wajib pajak orang pribadi UMKM, kebijakannya adalah pengenaan PPh final 0,5% terhadap omzet paling lama 7 tahun. Selain itu, wajib pajak orang pribadi UMKM juga mendapatkan skema omzet hingga Rp500 juta tidak kena PPh final.

Kemudian, terhadap wajib pajak badan juga ada pengenaan tarif PPh final 0,5%. Jangka waktu penggunaan tarif PPh final paling lama 4 tahun untuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan. Kemudian, penggunaan tarif PPh final paling lama 3 tahun untuk perseroan terbatas.

Kebijakan tersebut menjadi insentif bagi UMKM. Dalam penghitungan belanja perpajakan (tax expenditure), nilai akumulasi insentif bagi UMKM cukup besar. Belanja perpajakan bukan hanya sebagai keringanan, melainkan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong perkembangan UMKM, memperbaiki iklim investasi, serta mendukung keberlanjutan dunia usaha.

Meskipun pemberian insentif menjadi pengurang potensi pajak yang dikelola pemerintah pusat, kebijakan itu justru membuat pajak daerah lebih optimal. Hal ini mengingat sekitar 30% dari KLU UMKM terkait dengan objek pajak daerah, seperti restoran, hiburan, dan hotel.

Artinya, kebijakan tersebut menciptakan subsidi silang. Pemerintah pusat kehilangan potensi penerimaan dari PPh dan PPN, namun pemerintah daerah mendapatkan tambahan pendapatan asli daerah (PAD) dari UMKM yang beroperasi di wilayah mereka.

Optimalisasi Pajak UMKM

UMKM memiliki keterkaitan dan dampak yang signifikan terhadap penerimaan pajak pusat dan daerah. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sejumlah upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor UMKM. Ada beberapa upaya yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, melakukan optimalisasi data satu pintu agar pusat dan daerah dapat lebih efektif mengakses serta mengawasi data UMKM. Dalam hal ini, intensifikasi dan ekstensifikasi pajak harus dilakukan. Intensifikasi dilakukan dengan memperbaiki sistem dan basis data yang digunakan untuk pengawasan UMKM. Harapannya, ada pertukaran data yang lebih efisien antara pusat dan daerah.

Sebagai contoh, PT A adalah UMKM dengan KLU restoran dan mendapatkan insentif karena baru berdiri dengan omzet masih di bawah Rp4,8 miliar (misalnya omzet pada 2023 senilai Rp2,5 miliar dilaporkan melalui SPT Tahunan badan 2023).

Data tersebut dapat diteruskan ke daerah untuk memastikan kesamaan nilai omzet yang dilaporkan dalam kaitannya dengan pajak restoran. Pertukaran data semacam ini akan membantu menguji kepatuhan pajak. Sebaliknya, jika ada wajib pajak yang melapor pajak di daerah tetapi tidak terdaftar sebagai wajib pajak pusat, hal ini bisa menjadi dasar untuk ekstensifikasi pajak.

Kedua, memastikan kepatuhan pajak UMKM, termasuk pelaporan pemotongan pajak atas gaji karyawan dan transaksi dengan pemberi jasa serta objek pajak lainnya. Di lapangan, banyak UMKM masih berstatus usaha perorangan (orang pribadi) yang tidak berbadan hukum. Kondisi ini sering kali membuat karyawan yang membantu usaha itu tidak dilaporkan secara resmi. Hal ini dapat diatasi dengan kunjungan lapangan dan sosialisasi tentang kewajiban perpajakan UMKM.

Ketiga, memberikan dukungan terhadap UMKM tidak hanya berupa insentif pajak, tetapi juga kontribusi langsung dari pemerintah seperti kemudahan dalam proses legalitas bisnis. Misalnya, kemudahan dalam proses legalitas bisnis, seperti pendaftaran usaha, pendaftaran merk, dan pengurusan administrasi lainnya.

Selain itu, pendekatan emosional juga penting, seperti memberikan penghargaan kepada UMKM yang patuh pajak, menyelenggarakan pelatihan dan pembinaan bagi UMKM, serta berkolaborasi dengan produk UMKM dalam kegiatan tertentu. Langkah-langkah ini akan meningkatkan kepercayaan wajib pajak sehingga dapat menarik minat investor untuk berbisnis di Indonesia.

Kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung UMKM di Indonesia diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di berbagai aspek, seperti peningkatan PDB, rasio pajak, konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Seperti diketahui, pada 2024, tren konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami sedikit penurunan. Kolaborasi tersebut sejalan dengan upaya jangka panjang yang diusung presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, yakni untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak melalui program hilirisasi.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.