Berita Pajak Sepekan 29 November - 3 Desember 2021.
JAKARTA, DDTCNews - Isu mengenai ketentuan perpajakan bagi pelaku UMKM kembali menjadi bahasan terpopuler sepanjang pekan ini. Setelah UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diundangkan, pemerintah memang segera menerbitkan puluhan aturan pelaksana.
Salah satu ketentuan turunan yang sedang digodok adalah aturan terkait PPh final UMKM. Wajib pajak UMKM tampaknya perlu bersiap. Mulai tahun 2022 nanti, Ditjen Pajak (DJP) bakal mewajibkan wajib pajak (WP) UMKM untuk melaporkan omzet usahanya.
Kewajiban 'lapor omzet' ini juga berlaku untuk wajib pajak UMKM dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta.
"Apabila selama ini wajib pajak UMKM cukup melakukan pembayaran tanpa perlu melapor, nanti di mekanisme baru sejak awal bulan akan ada mekanisme wajib melaporkan omzet," jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
DJP kini tengah mematangkan mekanisme pelaporan omzet bagi WP UMKM ini. Rencananya, ketentuan baru soal ini akan dituangkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
DJP, ujar Neilmaldrin, juga berupaya menyosialisasikan ketentuan lain terkait UMKM yang diatur dalam UU HPP termasuk penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi UMKM.
"[Sosialisasi dilakukan] secara bertahap dan terus-menerus sehingga wajib pajak UMKM ingat kewajiban perpajakannya," ujar Neilmaldrin.
Artikel lengkap yang mengulas isu di atas, baca 'Mulai Tahun Depan, DJP Bakal Wajibkan WP UMKM untuk Laporkan Omzet'.
Isu lain yang tak kalah populer dalam 7 hari terakhir adalah peringatan dari DJP agar wajib pajak lebih cermat dalam memperlakukan transaksi sewa untuk kepentingan penghitungan pajak.
Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP, Ilmianto Himawan, menerangkan ada perbedaan dalam mengidentifikasi sewa antara PSAK 73 dan ketentuan pajak.
Dengan demikian, bisa jadi suatu kontrak bisa dianggap mengandung sewa berdasarkan PSAK 73 tapi tidak dikategorikan sebagai sewa oleh ketentuan pajak, melainkan kontrak jual beli biasa.
"Akibat dari perbedaan ini, kami mencatat ada 1 contoh transaksi ya. Jual beli listrik kalau ketentuan PSAK 73 bisa mengandung sewa, tapi kalau di pajak ini bisa saja adalah jual beli listrik," ujar Ilmianto.
Sebagaimana diatur pada PSAK 73, suatu kontrak mengandung sewa jika kontrak tersebut memberikan hak untuk mengendalikan penggunaan aset identifikasian selama suatu jangka waktu untuk dipertukarkan dengan imbalan.
Definisi sewa yang tertuang pada Pasal 4 UU PPh tergolong lebih sederhana.
"Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang," bunyi ayat penjelas dari Pasal 4 ayat (1) huruf i UU PPh.
Artikel lengkapnya, baca 'Wajib Pajak Harus Cermat Menghitung Pajak Atas Sewa, Ini Alasannya'.
Selain 2 berita paling populer di atas, masih ada beberapa artikel lain yang tak kalah menarik untuk dibaca. Berikut adalah 5 artikel populer DDTCNews selama sepekan terakhir yang sayang untuk dilewatkan:
1. Heboh Jualan Online Tetap Dikenai Pajak, Ini Solusi dari DJP
Pekan lalu jagat dunia maya dibuat heboh dengan 'surat cinta' DJP kepada seorang pelapak online untuk membayar tagihan pajak puluhan juta rupiah.
DJP menyampaikan kegiatan ekonomi secara daring tidak menggugurkan kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, setiap pelapak online wajib mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku seperti mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan lapor SPT Tahunan.
"Eits jangan salah, jualan online tetap kena pajak kalo udah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif," tulis akun Instagram DJP.
DJP menjelaskan 'surat cinta' yang viral minggu lalu salah satu contoh kewajiban pemenuhan kewajiban perpajakan bagi penjual online. Melalui surat tersebut unit vertikal DJP membuka data penjualan di salah satu marketplace yang menyertakan kewajiban pembayaran pajak senilai Rp35 juta untuk omzet usaha selama 2 tahun.
Otoritas menegaskan masih ada solusi yang bisa ditempuh penjual online untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal tersebut diatur melalui UU HPP.
"Tapi jangan sedih, ada kabar gembira. Mulai tahun 2022 berdasarkan UU HPP, pengusaha orang pribadi UMKM yang omzet brutonya Rp500 juta ke bawah tidak dikenai PPh," terang DJP.
2. UU HPP Atur Metode Baru Tekan Penghindaran Pajak via Transfer Pricing
UU HPP merevisi ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan (PPh). Instrumen baru yang tersedia pada ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang telah direvisi dengan UU HPP diharapkan dapat mengoptimalkan pencegahan penghindaran pajak, khususnya melalui transfer pricing.
"Terdapat 3 isu penting yang diatur, yaitu penambahan metode penentuan harga wajar, penerapan benchmarking, dan secondary adjustment," tulis Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi November 2021.
Pada ayat penjelas Pasal 18 ayat (3), 3 metode baru yang dapat digunakan oleh Ditjen Pajak (DJP) untuk menentukan kembali besarnya penghasilan serta pengurangan untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah comparable uncontrolled transaction method, tangible asset and intangible asset valuation, serta business valuation.
Sebelum direvisi melalui UU HPP, metode yang dapat digunakan untuk menentukan kembali penghasilan adalah comparable uncontrolled price method, resale price method, cost-plus method, profit split method, dan transactional net margin method.
3. Kirim SP2DK ke Wajib Pajak, Ini Sumber Data dan Informasi DJP
DJP, melalui kantor pelayanan pajak (KPP), mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada wajib pajak. SP2DK memuat data dan informasi yang perlu klarifikasi atau penjelasan dari wajib pajak.
Lantas, dari mana otoritas pajak mendapatkan data dan informasi tersebut? Penyuluh Pajak Ahli Pertama Dwi Langgeng Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Langgeng mengatakan secara umum, data diperoleh dari berbagai sumber.
Salah satu sumber data dan informasi tersebut merupakan hasil kunjungan (visit) yang dilakukan petugas pajak atau account representative (AR). Kemudian, ada pula data dari pihak ketiga. Selain itu, data hasil kalkulasi atau penghitungan yang dilakukan fiskus.
Terkait dengan data pihak ketiga, Dwi mengatakan sejak 2017, Indonesia telah memiliki Perpu 1/2017 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU 9/2017. Beleid ini mengatur tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
"Undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum mengenai pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan, dalam hal ini DJP, untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan," jelasnya.
4. Pajak Atas Natura Tak Dikenakan ke Pegawai Level Menengah-Bawah
Aturan turunan dari UU HPP yang mengatur natura dan kenikmatan akan memberikan perlindungan kepada pegawai level menengah dan bawah.
Kepala Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi DJP, Heri Kuswanto, mengatakan salah satu natura yang dikecualikan dari objek pada melalui UU HPP adalah natura dengan jenis dan batasan tertentu.
"Itu kita lindungi agar tidak merupakan objek pajak yang memberatkan pegawai pada level menengah ke bawah," ujar.
Secara umum, nantinya akan terdapat 5 jenis natura dan kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak, yakni makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, natura yang diberikan di daerah tertentu, natura yang diberikan karena keharusan pekerjaan, dan natura yang bersumber dari APBN, APBD, atau APBDes.
Heri mengatakan perubahan ketentuan mengenai natura dan kenikmatan adalah salah perubahan yang amat mendasar pada UU PPh. Diperinci pada ayat penjelas dari Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP, natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan kenikmatan adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas.
"Itu pada dasarnya adalah imbalan kerja dalam bentuk selain uang. Selama ini pemberian natura bukan objek pajak dan dari sisi pemberi kerja tidak dapat dibiayakan," ujar Heri.
5. DJP Aktif Telepon Wajib Pajak Jelang Akhir Tahun, Simak Ketentuannya
DJP terus menjalankan layanan outbound call melalui program click, call, dan counter (3C). Selain mengoptimalkan pelayanan kepada wajib pajak, otoritas juga memanfaatkan program ini untuk pengawasan jelang tutup buku 2021.
Neilmaldrin Noor mengatakan pelayanan outbound call dijalankan oleh Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP). Outbound call, ujarnya, dilakukan sebagai tindak lanjut permohonan yang berasal dari unit kerja lainnya di DJP.
"Hal ini dilakukan melalui campaign yang berupa billing support untuk ketetapan pajak dan voice blast untuk pelaporan SPT tahunan dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak," katanya.
Neilmaldrin mengatakan outbound call hanya dilakukan kepada wajib pajak dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut yakni wajib pajak yang belum melakukan pelaporan pajak dan/atau belum melakukan pembayaran pajak.
Data wajib pajak yang akan ditelepon berasal dari direktorat teknis terkait atau unit vertikal. Nantinya, direktorat teknis terkait akan menyampaikan data wajib pajak yang akan ditelepon kepada KLIP secara teratur atau berdasarkan permintaan.
Sementara itu, data dari unit vertikal akan diberikan berdasarkan permintaan untuk melakukan outbound call kepada wajib pajak sesuai kriteria yang ditetapkan.
6. DEBAT PERPAJAKAN: Peta Jalan Cukai Rokok, Perlukah? Tulis Komentar Anda, Rebut Hadiahnya
Ikuti debat yang digelar DDTCNews ini. Klik tautan pada judul di atas untuk penjelasan mengenai temanya.
Sebanyak 2 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel ini dan telah menjawab beberapa pertanyaan dalam survei akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000).
Penilaian akan diberikan atas komentar dan jawaban yang masuk sampai dengan Senin, 13 Desember 2021 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Kamis, 16 Desember 2021. (sap)