Muhammad Fachri & Putri Balqis Aurely,
BISNIS perdagangan elektronik atau e-commerce di Indonesia kian berkembang pesat. Banyak orang berbondong-bondong untuk menjalankan model bisnis ini. Tak ayal, persaingan bisnis di sektor ini pun cukup ketat dan dinamis.
Di lihat dari perkembangannya, bisnis e-commerce mulai bersaing dengan bisnis konvensional. Dari tahun ke tahun nilai transaksinya terus meningkat. Bahkan pada 2022, nilai transaksi e-commerce ritel di Indonesia diprediksi mencapai Rp214 triliun, tumbuh 150% dibanding nilai transaksi pada 2016 sebesar Rp85,9 triliun (Statista.com).
Melihat data-data tersebut, transaksi e-commerce patut menjadi sorotan otoritas pajak karena potensi penerimaan pajaknya yang besar. Namun, sayangnya, ketentuan pajak di Indonesia belum mengatur secara tegas terkait bagaimana bisnis e-commerce dipajaki.
Hingga saat ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak baru mengeluarkan Surat Edaran Ditjen Pajak Nomor 62/PJ/2013 (SE-62/2013) tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi E-Commerce.
SE ini memberi penegasan bahwa pengenaan pajak terhadap e-commerce masih sama seperti perdagangan lainnya yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa dan tidak ada jenis pajak baru, sehingga untuk pemajakannya berlaku ketentuan umum.
Selain itu, dalam SE yang mengadopsi panduan OECD ini, transasksi e-commercedikelompokan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu online marketplace, online retail, classified ads, dan daily deals. Keempatnya memiliki karakter atau model bisnis tersendiri.
Di luar itu, sebagai langkah awal dalam pengenaan pajak pada e-commerce, terdapat wacana Ditjen Pajak untuk menjadikan platform online marketplace sebagai withholderatau pemotong pajak.Kendati demikian, masih banyak tantangan terkait rencana ini.
Di satu sisi, pemerintah perlu menerapkan sistem pemajakan yang business friendly terhadap sektor sektor e-commerce. Pasalnya, ada kekhawatiran bisnis ini akan sulit berkembang jika pemerintah memungut pajak terlalu tinggi.
Pemerintah Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk dapat memajaki sektor e-commerce secara optimal. Hingga kini belum ada blueprint yang jelas terkait pajak bisnis digital ini. Wacana pemajakan yang akan dikenakan pada marketplace pun masih dirasa belum tepat pengenaannya, karena masih ada persoalan ‘kesetaraan pajak’ di seluruhplatform.
Tantangan lainnya pun timbul jika tidak ada kesetaraan pada pengenaan pajak e-commerce, di mana hal tersebut dapat berimbas pada pergeseran para pelaku e-commerce dari marketplace ke media sosial. Dengan begitu, penerapan kebijakan justru tidak akan optimal dan semakin sulit terkendali.
Di samping itu, bisnis e-commerce tidak mengenal batas negara (borderless). Hal itu akan membuat sistem pemajakan sulit untuk mendeteksi keberadaan wajib pajak dan tentunya tidak menciptakan iklim yang adil bagi para penjual yang dikenakan pajak dari dalam negeri.
Integrasi Sistem Pemajakan E-Commerce
Untuk mengantisipasi terjadinya pergeseran tersebut, pemerintah perlu menyusun aturan yang jelas dan pasti terkait tata cara pemungutan pajak di sektor e-commerce. Lebih khusus, pemerintah perlu mengatur bagaimana sistem atau yang tepat untuk memajaki e-commerce secara efisien dan efektif.
Pemerintah perlu berkaca dan mempelajari negara lain mengenai penerapan sistem perpajakan dalam e-commerce. Seperti negara Jepang yang sudah memajaki transaksi e-commerce dari tahun 2002.
Jepang membentuk suatu sistem e-commerce  yang terintegrasi dengan pemerintah untuk memudahkan dalam hal pemungutan pajak dan membentuk suatu unit khusus, yaitu Professional Team for E-Commerce Taxation (Protect) untuk mendeteksi transaksi dan memburu pajak e-commerce. Unit Protect saat ini telah mampu mendeteksi berbagai macam transaksi e-commerce, bahkan transaksi yang terjadi di media sosial karena sudah terintegrasi dengan sistem.
Adapun, terkait rencana pemerintah yang akan menjadikan online marketplace sebagai Âwithholder nampaknya perlu dikaji kembali agar tidak merugikan berbagai pihak. Jika berkaca dari Jepang, langkah yang tepat dalam memajaki transaksi e-commerce bukan menunjuk satu platform tertentu, melainkan membuat sistem terintegrasi secara online.
Hal itu dilakukan untuk mendeteksi transaksi e-commerce dan membuat pengenaan pajak pada e-commerce dapat terkendali, sehingga pengenaan pajak Âe-commerce dapat diterapkan diterapkan secara adil. Selain itu, penyetoran pajak dari e-commerce pun membutuhkan sistem yang terintegrasi agar pemerintah dapat memantau pemajakannya dengan baik.
Pada akhirnya, apapun kebijakan yang diambil pemerintah untuk bisnis e-commerce, perlu sosialisasi yang baik agar kebijakan ini dapat diterima. Pola komunikasi yang intensif dan melibatkan pihak pelaku bisnis e-commerce dapat meminimalisasi gejolak dan resistensi terhadap kebijakan e-commerce.*
*Artikel esai ini merupakan salah satu dari 15 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2018.