INTEGRASI SISTEM DATA

Di Balik Penghapusan NIK dan Nomor Pokok PPJK

Redaksi DDTCNews
Selasa, 02 Mei 2017 | 12.29 WIB
Di Balik Penghapusan NIK dan Nomor Pokok PPJK

Ilustrasi. (DDTCNews)

SETELAH tertunda 9 pekan dari target 24 Desember 2016 sesuai mandat Pasal 29 PMK 179/PMK.04/2016, integrasi sistem data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) dan Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (NP-PPJK) akhirnya efektif mulai 1 Maret 2017.

Sejak itu, bersamaan dengan berlakunya Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017, NIK dan NP-PPJK—dua nomor identitas yang wajib dimiliki setiap warga negara untuk dapat mengakses layanan kepabeanan—dinyatakan dihapus. Sebagai gantinya, pengguna jasa kepabeanan cukup menggunakan NPWP.

Integrasi sistem data NPWP dengan NIK dan NP-PPJK itu bisa dilihat paling tidak dari tiga hal. Pertama, secara filosofis, pemerintah mengakui bahwa pajak adalah ‘saham politik’ warga negara, yang karena dan atas pembayarannya yang ditandai dengan kepemilikan NPWP, maka ia berhak mendapatkan layanan dari negara, dalam hal ini pelayanan kepabeanan.

Kedua, secara teknis, integrasi sistem data NPWP dengan NIK dan NP-PPJK ternyata bisa dilakukan dengan lancar dan sejauh ini tidak menimbulkan gejolak. Kita tahu, penyatuan itu tidak sesederhana kelihatannya. Ada berbagai persoalan yang tidak tampak di permukaan, terutama akibat kurangnya political will dan resistensi ego-sektoral.

Ketiga, secara politik, keberhasilan integrasi sistem data NPWP dengan NIK dan NP-PPJK adalah modal politik bagi Kemenkeu untuk meyakinkan banyak orang, guna membangkitkan kembali satu ide brilian yang telah dikubur sekian lama hanya karena agaknya tidak suka kepada pencetusnya, yaitu pembentukan Single Identity Number (SIN).

Rasanya tidak akan ada yang menyangkal, ada begitu banyak manfaat dari integrasi sistem identifikasi nasional yang mengoneksikan data keuangan seperti transaksi bisnis yang terkait dengan perpajakan dan data nonkeuangan seperti demografi dan kependudukan yang terkait dengan pemerintahan, seperti yang 16 tahun silam telah dideskripsikan dalam pembentukan SIN di Ditjen Pajak (DJP).

Dalam 20 tahun terakhir ini, sudah terlalu banyak riset dan laporan yang diterbitkan berbagai lembaga termasuk World Bank, International Monetary Fund, dan Organization for Economic Cooperation and Development, yang menunjukkan pentingnya manfaat dari integrasi sistem identifikasi tersebut, dan tidak hanya untuk kepentingan perpajakan.

World Bank bahkan percaya, tanpa adanya sistem identifikasi yang kuat, negara akan kesulitan memberikan layanan publik, mencapai efektivitas kinerja birokrasi, efisiensi program, serta menghasilkan statistik yang akurat untuk merumuskan respons kebijakan yang tepat. (ID4D Integration Approach, World Bank-2015)

Karena itu tidak mengherankan, World Bank menjadikan program penguatan sistem identifikasi nasional itu sebagai salah satu program kunci dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs) pada 2030, yang memang sudah menjadi konsensus global yang Indonesia turut menyepakatinya.

Apabila dicermati, dalam konteks integrasi sistem data di Indonesia, maka akan segera terlihat bahwa yang menjadi persoalan bukanlah seberapa banyak manfaat yang bisa diperoleh, melainkan bagaimana integrasi itu bisa terwujud dan dipetik manfaatnya. Dengan kata lain, berhasil tidaknya integrasi ini simply adalah persoalan kuat lemahnya political will dan redam tidaknya ego sektoral.

Kami belum lupa bagaimana 13 tahun silam, kebutuhan akan integrasi data transaksi bisnis serta informasi lain yang terkait dengan kepentingan perpajakan telah dicantolkan pada Pasal 35A dan Pasal 41C RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), hingga akhirnya disahkan menjadi UU No. 28 Tahun 2007.

Begitu pula dengan kebutuhan integrasi data demografi dan kependudukan yang sedemikian rupa telah dicantumkan pada Pasal 13 RUU Administrasi Kependudukan, hingga akhirnya disahkan menjadi UU No. 23 Tahun 2006, lantas dipertegas lagi melalui Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 yang merevisi UU No. 23 Tahun 2006.

Jalan lebar yang telah diberikan UU KUP untuk mengintegrasikan data transaksi bisnis yang terkait dengan perpajakan serta UU Administrasi Kependudukan untuk mengintegrasikan data demografi tersebut tentu tidak boleh diingkari, apalagi kemudian digergaji sedemikian rupa melalui peraturan-peraturan turunannya.

Tak sedikit energi dan uang yang sudah dikeluarkan untuk membuka jalan itu. Dalam konteks data transaksi bisnis yang terkait perpajakan, babat alasnya sudah dimulai sejak SE-06/PJ.9/2001, disusul ratusan MoU dengan berbagai pemilik data, sampai terbit Keputusan Dirjen Pajak No.178/PJ./2004, disusul KMK No. 464/KMK.01/2005 dan KMK No.84/KMK/01/2006.

Hingga akhirnya kita tahu, setelah program integrasi data transaksi bisnis melalui SIN itu naik kelas jadi program nasional melalui Keppres No. 72/2004 dan Perpres No 7/2005, sekonyong-konyong muncul Keputusan Dirjen Pajak No. 111/PJ/2008 dan PMK No. PMK-157/KMK.01 yang melenyapkannya, justru setelah ada Pasal 35A dan dan Pasal 41C UU KUP.

Integrasi data NPWP dengan NIK dan NP-PPJK jelas tidak boleh berhenti. Ini program brilian. Inilah reformasi perpajakan. Demi kemaslahatan rakyat Indonesia, program integrasi itu harus diperluas. Di Indonesia ini ada lebih dari 40 sistem data identitas yang saling terpisah dan tidak terkoneksi, mulai dari data pelanggan listrik sampai data pemilik kendaraan bermotor.

Untuk itu memang tidak ada opsi lain. Kemenkeu harus bisa meyakinkan otoritas tertinggi, bahwa perluasan program integrasi sistem data tersebut penting dan mendesak untuk kemaslahatan bersama. Tapi mungkin lebih baik itu dilakukan setelah Kemenkeu meyakinkan dirinya sendiri, dan berdamai dengan putusannya melenyapkan program serupa 8 tahun silam.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.