SEJALAN dengan peningkatan kesadaran tentang bahaya perubahan iklim, seluruh dunia kini berlomba-lomba menarik investasi untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu instrumen yang digunakan pemerintah ialah insentif pajak.
Awal 2022, Organisation for Economic Co-operation Development (OECD) merilis working paper berjudul Building an Investment Tax Incentives Database: Methodology and Initial Findings for 36 Developing Countries.
Laporan yang ditulis Alessandra Celani, Luisa Dressler, dan Martin Wermelinger tersebut membedah berbagai skema insentif pajak dari 36 negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menarik modal atau investasi.
Berdasarkan laporan tersebut, pembebasan PPh badan (tax exemption) menjadi instrumen yang paling banyak digunakan di negara berkembang. Berikut tren pemberian insentif pajak di 39 negara berkembang yang diteliti OECD.
Dari 36 negara tersebut, sebanyak 25 negara di antaranya memiliki tax exemption yang diberikan secara penuh kepada investor pada periode waktu yang terbatas. Di Ethiopia, terdapat fasilitas tax exemption selama 5—6 tahun pada investasi pembuatan mesin dan peralatan.
Lalu, sebanyak 9 negara yang tercakup dalam laporan tersebut memberikan tax exemption secara penuh dan bersifat permanen. Meski demikian, kebijakan tersebut hanya berlaku untuk pendapatan dari sumber-sumber tertentu.
Di Lesotho, terdapat fasilitas tax exemption secara permanen atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekspor manufaktur. Namun, memang tidak banyak negara berkembang yang menggunakan skema tax exemption secara parsial.
Di sisi lain, terdapat insentif pengurangan tarif PPh badan secara permanen yang berlaku di 19 dari 36 negara berkembang. Sebanyak 18 negara lainnya memberlakukan skema pengurangan PPh badan yang bersifat sementara.
Tidak seperti pembebasan pajak yang mayoritas diberikan secara penuh, insentif pengurangan tarif PPh badan biasanya hanya sebagian dan tidak sampai 0%.
Ketika memberikan insentif pajak secara sementara, seperti tax exemption dan pengurangan tarif dalam waktu tertentu, terkadang ada negara yang menggabungkan lebih dari satu skema insentif pada akhir periodenya.
Dalam hal ini, sekitar 20% negara yang memberikan skema insentif pajak yang berlaku sementara tercatat memberikan insentif tambahan. Misal, bisnis diberikan tax exemption, tetapi mendapatkan terus manfaat dari tarif PPh badan yang dikurangi secara permanen.
Di Madagaskar, perusahaan tambang yang menginvestasikan lebih dari US$50 juta mendapat keuntungan dari tax exemption yang ditawarkan untuk sementara serta menerima pengurangan tarif secara permanen untuk kegiatan pemrosesan mineral.
Insentif lain yang juga banyak diberikan negara berkembang yaitu pengurangan penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan nilai investasi yang ditanamkan atau tax allowance. Dari 36 negara, sebanyak 23 negara memberikan tax allowance untuk pengeluaran yang memenuhi syarat.
Apabila dibedah, terdapat 298 jenis insentif pajak untuk menarik investasi yang berlaku di 36 negara berkembang yang dikaji tersebut. Dari angka tersebut, sekitar 70% di antaranya berbasis penghasilan (tax exemption dan pengurangan tarif), serta 30% lainnya berbasis pengeluaran.
Meski insentif pajak kebanyakan berbasis penghasilan, sejumlah literatur menilai skema itu hanya menguntungkan investasi atau proyek yang sudah mencetak profit. Insentif berbasis pengeluaran memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mendorong investasi tambahan.
Dengan memberikan insentif berupa pengurangan biaya investasi, investor akan lebih tertarik untuk menanamkan modal pada bidang yang marginal. (rig)