STATISTIK TARIF PAJAK

Beban Pajak Perseroan dengan Pemegang Saham Orang Pribadi di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 24 Desember 2024 | 12.50 WIB
Beban Pajak Perseroan dengan Pemegang Saham Orang Pribadi di Indonesia

HADIRNYA Omnibus Law berupa Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada 2020 telah membawa perubahan fundamental pada sistem pajak penghasilan (PPh) di Indonesia. Perubahan ini menyangkut sistem pemajakan perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi sebagai pemilik perseroan (corporate-shareholder taxation system) (Darussalam, 2020).

Perubahan tersebut dikarenakan adanya kebijakan penghapusan pajak penghasilan (PPh) atas dividen dalam negeri yang diterima atau diperoleh oleh subjek pajak orang pribadi dalam negeri. Kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan investasi di Tanah Air itu juga menjadi bagaian dari revisi UU PPh yang dimuat dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Seperti diketahui, pajak atas perseroan berkaitan dengan pajak atas penghasilan orang pribadi sebagai pemegang saham perseroan tersebut. Hal ini dikarenakan penghasilan perseroan akan menjadi penghasilan (dalam bentuk dividen) bagi pemegang sahamnya. Dengan kata lain, penghasilan perseroan merupakan salah satu dari sumber penghasilan bagi pemegang sahamnya.

Sebelum adanya UU Cipta Kerja (2020) dan UU HPP, Indonesia menganut classical system untuk pemajakan atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi. Dengan sistem ini, perseroan dipandang sebagai entitas yang terpisah dengan pemiliknya (separate entity system). Akibatnya, penghasilan perseroan dikenakan pajak tersendiri dan terpisah dari pemegang saham.

Dalam classical system, penghasilan yang bersumber dari perseroan dikenakan pajak 2 kali, yaitu pada tingkat perseroan dan pada tingkat pemegang saham pada saat dibagikan sebagai dividen (Cnossen, 1996). Tidak mengherankan jika dengan classical system, ada isu mengenai pemajakan berganda atas satu penghasilan yang sama.

Isu pemajakan berganda itu muncul ketika suatu penghasilan telah dikenakan pajak pada tingkat perseroan. Kemudian, penghasilan tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi. Alhasil, penghasilan yang sama tersebut akan dikenakan pajak lagi di tingkat pemegang saham orang pribadi.

Sekarang, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, dividen yang diterima wajib pajak orang pribadi dan badan dalam negeri (sepanjang diinvestasikan di Tanah Air dengan ketentuan tertentu) dapat dikecualikan dari objek PPh. Dengan ketentuan ini, Indonesia beralih dari classical system menjadi integration of distributed profit berbentuk single tier dividend system atau one-tier system.

Dalam one-tier system, penghasilan perseroan hanya dikenakan pajak satu kali di tingkat perseroan. Oleh karena itu, ketika penghasilan perseroan tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi, penghasilan dividen ini tidak dikenakan pajak lagi pada orang pribadi tersebut (Harris, 2013).

Sederhananya, dalam one-tier system, setiap dividen yang diterima atau diperoleh oleh pemegang saham orang pribadi dalam negeri akan dikecualikan dari pengenaan PPh di Indonesia. Syaratnya adalah diinvestasikan di Indonesia. Hal ini pada akhirnya memberikan dampak berupa penurunan beban PPh bagi pemegang saham orang pribadi.

Dengan classical system, ada beban pajak berganda bagi pemegang saham orang pribadi. Namun, dengan one-tier system, beban pajak berganda tersebut dapat dieliminasi karena penghasilan perseroan hanya dikenakan pajak di tingkat perseroan dan penghasilan yang diterima pemegang saham orang pribadi dalam bentuk dividen tidak lagi dikenakan pajak.

Kebijakan ini diharapkan akan mendorong distribusi dividen untuk diinvestasikan kembali. Kebijakan ini juga diharapkan akan menghilangkan fenomena pembagian dividen terselubung untuk menghindari pengenaan pajak yang selama diduga terjadi di bawah rezim classical system. Terlebih, Indonesia juga sudah menurunkan tarif PPh badan.

Tarif Efektif Makin Rendah

Gabungan antara penerapan one-tier system dan penurunan tarif PPh badan membuat tarif efektif atas perseroan dengan orang pribadi sebagai pemegang sahamnya berkurang.  Apalagi, jika tarif efektif itu dibandingkan dengan rezim PPh pada 2000 dan 2008. Hal ini dikarenakan 2 faktor. Pertama, tidak ada lagi pajak berganda. Kedua, tarif PPh badan Indonesia turun.

Berdasarkan pada data simulasi tersebut dapat terlihat ketika negara menerapkan classical system, tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi lebih besar daripada tarif PPh badan sesuai undang-undang. Jika menerapkan one-tier system, tarif pajak efektif relatif sama dengan tarif PPh badan sesuai undang-undang.

Contoh, tarif pajak efektif yang berlaku di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dalam rezim PPh 2000, Indonesia menerapkan classical system dengan tarif PPh badan 30,0% dan tarif withholding tax dividen 15% (tidak final).  Tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi tercatat sebesar 54,5% atau lebih tinggi dari tarif PPh badan.

Kemudian, dalam rezim PPh 2008, Indonesia masih menerapkan classical system dengan tarif PPh badan turun menjadi 25,0% dan tarif withholding tax dividen 10,0% (final). Dengan skema tersebut, pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi tercatat turun menjadi sebesar 32,5% atau lebih tinggi dari tarif PPh badan.

Lalu, dalam rezim PPh 2021 hingga sekarang, Indonesia mulai beralih menerapkan one-tier system. Pada saat bersamaan, tarif PPh badan juga turun menjadi 22%. Dengan skema ini, tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi tercatat kembali turun menjadi 22% atau sama dengan tarif PPh badan.

Dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam, tarif efektif di Indonesia masih cukup kompetitif. Tarif efektif di Indonesia (22,0%) lebih tinggi dibandingkan Singapura (17,0%), tetapi lebih rendah dibandingkan dengan Thailand (55,0%), Vietnam (55%), Filipina (32,5%), dan Malaysia (24,0%).

Sejatinya, Thailand dan Vietnam mempunyai tarif PPh badan yang lebih rendah, yakni 20,0%. Namun, kedua negara ini masih menerapkan classical system dengan tarif withholding tax dividen sebesar 10% (tidak final) dan 5% (tidak final). Alhasil, tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan tarif PPh badan.

Adapun topik tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi juga diulas dalam 2 buku DDTC. Pertama, Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan yang diterbitkan pada 2020. Kedua, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional yang diterbitkan pada 2024.

Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 33 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.