BELAKANGAN ini, topik mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, atau yang biasa disebut Omnibus Law Perpajakan, tengah ramai diperbincangkan. Pasalnya, proses pengesahan dari undang-undang ini kini telah memasuki babak baru dengan disampaikannya RUU tersebut kepada DPR.
Pemerintah berharap Omnibus Law Perpajakan dapat segera diundangkan sehingga berbagai kebijakan yang terdapat didalamnya dapat segera direalisasikan. Salah satunya adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan investasi di tanah air, yaitu kebijakan penghapusan PPh atas dividen dalam negeri yang diterima atau diperoleh oleh subjek pajak orang pribadi dalam negeri.
Tak pelak, kebijakan penghapusan PPh atas dividen ini akan menyebabkan perubahan besar terhadap sistem PPh di Indonesia. Yaitu, terhadap sistem pemajakan perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi sebagai pemilik perseroan (corporate-shareholder taxation system).
Sebagaimana diketahui, pajak atas perseroan berkaitan dengan pajak atas penghasilan orang pribadi sebagai pemegang saham perseroan tersebut. Ini dikarenakan penghasilan perseroan akan menjadi penghasilan (dalam bentuk dividen) bagi pemegang sahamnya. Dengan kata lain, penghasilan perseroan merupakan salah satu dari sumber penghasilan bagi pemegang sahamnya.
Setiap negara memiliki sistem yang berbeda-beda dalam mengatur pemajakan atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi. Di Indonesia, sistem yang dianut berdasarkan ketentuan PPh yang berlaku saat ini adalah classical system. Yaitu, perseroan dipandang sebagai entitas yang terpisah dengan pemiliknya (separate entity system) sehingga penghasilan perseroan dikenakan pajak tersendiri dan terpisah dari pemegang sahamnya.
Dalam classical system, penghasilan yang bersumber dari perseroan dikenakan pajak dua kali, yaitu pada tingkat perseroan dan pada tingkat pemegang saham pada saat dibagikan sebagai dividen (Cnossen, 1996). Dengan kata lain, apabila suatu penghasilan telah dikenakan pajak di tingkat perseroan dan pada saat penghasilan tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi, atas penghasilan yang sama tersebut akan dikenakan pajak lagi di tingkat pemegang saham orang pribadi. Sistem yang sama juga diterapkan pada saat berlakunya UU PPh Nomor 17 Tahun 2000.
Ke depan, apabila RUU Omnibus Law Perpajakan sah diundangkan, berakhirlah penerapan rezim classical system di Indonesia. Melalui kebijakan penghapusan PPh atas dividen berdasarkan Pasal 4 ayat (4b) dan Pasal 4 ayat (5) RUU Omnibus Law Perpajakan, Indonesia akan beralih dari classical system menjadi integration of distributed profit dalam bentuk single tier dividend system atau lebih dikenal dengan nama one-tier system.
Berdasarkan sistem ini, penghasilan perseroan hanya dikenakan pajak satu kali di tingkat perseroan. Oleh karena itu, ketika penghasilan perseroan tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi, penghasilan dividen ini tidak dikenakan pajak lagi pada orang pribadi tersebut (Harris, 2013).
Sederhananya, dalam sistem ini, setiap dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh oleh pemegang saham orang pribadi dalam negeri akan dikecualikan dari pengenaan PPh di Indonesia. Persyaratannya, sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Lantas, apa dampak positif yang akan dibawa dari perubahan rezim classical system menjadi one-tier system terhadap Indonesia?
Dampak Positif
Selama ini, penerapan classical system di Indonesia menimbulkan beban pajak berganda bagi pemegang saham orang pribadi karena atas penghasilan yang sama dikenakan pajak dua kali di tingkat yang berbeda. Namun, dengan one-tier system, beban pajak berganda tersebut dapat dieliminasi karena penghasilan perseroan hanya dikenakan pajak di tingkat perseroan dan penghasilan yang diterima pemegang saham orang pribadi dalam bentuk dividen tidak lagi dikenakan pajak.
Diharapkan dengan kebijakan ini akan mendorong distribusi dividen yang kemudian diinvestasikan kembali. Selain itu, tentunya kebijakan ini akan menghilangkan fenomena pembagian dividen terselubung untuk menghindari pengenaan pajak yang selama diduga terjadi di bawah rezim classical system.
Dampak positif dari perubahan ini pun akan semakin terasa apalagi dengan adanya kebijakan penurunan tarif PPh Badan secara bertahap yang dirumuskan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, yaitu tarif PPh badan menjadi 22% untuk tahun pajak 2021 dan 2022 serta menjadi 20% mulai tahun 2023. Implikasinya, tentu saja tarif pajak efektif atas perseroan dikaitkan dengan pemegang saham orang pribadi di Indonesia juga akan semakin rendah. Dari 32,5% sebagaimana yang berlaku saat ini, menjadi 22% untuk tahun pajak 2021 dan 2022. Kemudian, menjadi 20% mulai tahun pajak 2023.
Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, Philipina, dan Thailand, tarif pajak efektif Indonesia akan menjadi paling rendah kedua setelah Singapura. sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 perbandingan berikut.
Tabel 1 Tarif Pajak Efektif atas Perseroan Dikaitkan dengan Pemegang Saham Orang Pribadi di Indonesia dan di Beberapa Negara ASEAN
Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa dengan menerapkan one-tier system, tarif pajak efektif Singapura dan Malaysia masing-masing adalah 17% dan 24%. Sementara itu, Filipina sebagai penganut classical system menghasilkan tarif pajak efektif sebesar 37%. Terakhir, Thailand yang menerapkan imputation system, tarif pajak efektifnya adalah sebesar 27%. Dibandingkan dengan tarif pajak efektif Philipina, Malaysia, dan Thailand, tarif pajak efektif Indonesia tentu menjadi lebih menarik.
Akhir kata, diharapkan penerapan rezim pajak one-tier system ini dapat menggairahkan investasi dalam negeri yang berguna untuk menggerakkan perekonomian Indonesia. Semoga.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.