Ibnu Khaldun (1332-1406)
WASHINGTON, 1 Oktober 1981. Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan menggelar konferensi pers. Saat itu, defisit anggaran mulai membubung, mengangkat suku bunga bank dari sebelumnya 12% ke hingga lebih dari 20%. Amerika Serikat pun kembali jatuh ke dalam ‘double dip recession’ sejak 1978.
“Saya belajar ekonomi di kampus. Saya belajar, ada orang bernama Ibnu Khaldun, yang hidup 1.200 tahun lalu di Mesir. Dan 1.200 tahun lalu itu, dia berkata, pada awalnya kerajaan, tarif pajak rendah, tetapi penerimaan tinggi. Pada akhir runtuhnya kerajaan, tarif pajak tinggi, penerimaannya rendah.”
Tahun itu, 13 Agustus 1981, Presiden Reagan menandatangani UU Pajak Pemulihan Ekonomi. Isinya, memangkas tarif pajak, dan ‘mengikhlaskan’ turunnya penerimaan lebih dari US$150 miliar selama 5 tahun. Dari situlah agenda Reaganomics bermula. Tapi, siapa nama Ibnu Khaldun yang dicatutnya?
Reagan tak menjelaskan. Tapi kita tahu, Abū Zayd ‘Abd ar-Raḥmān ibn Muḥammad ibn Khaldūn al-Ḥaḍramī, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun, adalah seorang intelektual muslim, ahli sejarah, sosiolog, ekonom, sekaligus demograf, yang dilahirkan oleh gemuruh abad pertengahan.
Pada usia 17 tahun, ia sudah yatim piatu. Ibnu Khaldun (1332-1406) kehilangan kedua orangtuanya akibat black death, salah satu sampar paling dahsyat dalam sejarah umat manusia yang menewaskan 75-200 juta manusia di Afrika Utara, Mediterania, dan Eropa, saat penduduk dunia baru 450 juta.
Tak lama setelah ditinggal kedua orang tuanya, abangnya, Yahya Khaldun, sejarahwan Kesultanan Mamluk di Mesir, tewas secara mengenaskan dalam sebuah intrik politik perebutan jabatan. Lalu istri dan anaknya juga tewas dalam sebuah kecelakaan kapal laut yang berangkat dari Tunis ke Mesir.
Lelaki kelahiran Tunis, 27 Mei 1332 ini adalah seorang birokrat sekaligus ilmuwan. Ia mengabdi pada Sultan sebagai hakim dan guru, tapi pada saat yang sama mencatat berbagai peristiwa, lalu mengkaji dan menyimpulkan pikiran-pikirannya ke dalam sebuah risalah yang fenomenal, Mukadimah.
Pikiran-pikirannya, yang terbentuk dari pengalaman melihat langsung kebangkitan dan kejatuhan Kesultanan Mamluk beserta segenap intrik-intrik politiknya, membuat ia mampu mendeskripsikan dengan jeli perubahan-perubahan di dalam masyarakat dan hubungannya dengan kekuasaan.
“Ada banyak orang yang menyaksikan sejarah, namun tak semua orang bisa menulisnya seperti Khaldun menyusun buku Mukadimah,” kata pakar Islam dan sastra Arab Universitas Yale, Franz Rosenthal (1914-2003).“Dia punya pengalaman politik yang luas dan mampu menganalisisnya.”
Ibnu Khaldun tidak saja meninggalkan teori tentang harga, nilai dan mekanisme pasar, teori produksi dan pembagian kerja, teori populasi pra-Malthusian, teori perdagangan internasional, teori uang, teori perpajakan, teori pembangunan, dan analisis modern atas peran pemerintahan.
Ia juga menginspirasi berbagai teori ekonomi lainnya, salah satunya seperti yang dikutip Reagan, supply side economy. Arthur Laffer tak ragu menyebut Ibn Khaldun sebagai penulis pertama Laffer Curve. Beberapa ekonom menyebutnya sebagai Bapak Ekonomi, alih-alih menyebut Adam Smith (1723-1790).
Arnold Toynbee, ahli sejarah ekonomi, mendeskripsikan Mukadimah sebagai karya terbesar yang tidak diragukan dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran dalam ruang dan waktu. “Ketika tarif pajak rendah, rakyat akan memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha,” kata Ibnu Khaldun. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.