Presiden AS ke-40 Ronald Reagan
SEORANG presiden pensiunan seringkali punya banyak kata untuk mengkritik penerusnya. Pada 18 Februari 1993, kurang dari sebulan setelah Pemilu Amerika Serikat memenangkan Bill Clinton dari Partai Demokrat sebagai Presiden AS ke-42, Ronald Reagan menulis di New York Times.
Dalam artikel itu, Reagan yang berkantor di Gedung Putih pada 1981-1989 menumpahkan sesuatu yang sebetulnya ingin ditahannya sampai pemerintah benar-benar siap dan punya kebijakan jelas. Sayangnya dia gagal, karena kebijakan Clinton rupanya sudah jelas: Menaikkan pajak.
Di sinilah artikel tersebut lalu berubah menjadi meriam pelontar kritik. Reagan, yang pada masanya menurunkan tarif pajak sedemikian rupa hingga berhasil keluar dari ancaman resesi dan sukses menciptakan 19 juta lapangan kerja, tak bisa memahami rencana kenaikan tarif pajak.
“Pelajaran mendasar dari era 80-an adalah bahwa ketika Anda memangkas tarif pajak untuk semua orang, mereka akan memiliki insentif untuk bekerja lebih keras dan berinvestasi untuk memperbaiki kehidupan dan keluarganya,” tulis Reagan.
Lebih jauh dari itu, lelaki kelahiran Tampico, Illinois, 6 Februari 1911 ini juga mengingatkan bagaimana pada musim panas 1992, beberapa bulan sebelum Pemilu, Clinton berjanji bahwa jika ia terpilih, maka dia akan memberikan pemotongan tarif pajak untuk warga kelas menengah.
Namun kenyataannya, ungkap Reagan, hanya kurang dari sebulan setelah dilantik sebagai Presiden AS, janji pemotongan pajak itu tidak saja telah diingkari, tetapi justru dibalik dengan menaikkan pajak bagi kalangan pekerja kelas menengah.
“Waktu kampanye, Clinton mengaku hanya akan memajaki orang sangat kaya. Pekan lalu dia mendefinisikannya mereka yang berpenghasilan US$200 ribu per tahun. Senin ini, definisi itu turun jadi US$100 ribu. Sekarang, ‘sangat kaya’ berarti berpenghasilan US$30 ribu per tahun.”
Tidak cukup itu, Reagen juga menunjukkan bagaimana kemudian kenaikan tarif pajak itu seolah-olah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Padahal, “Masalahnya bukan bagai warga negara kita dipajaki terlalu sedikit, tapi belanja pemerintah yang terlalu banyak’.
Lalu, bagaimana sikap Clinton? Sejarah mencatat, pada masa Clinton lah AS berhasil membalikkan defisit besar akibat perang pada periode sebelumnya, saat dipimpin George HW. Bush, menjadi surplus, sebelum akhirnya dibalikkan lagi oleh penerusnya, George W. Bush. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.