Presiden Amerika Serikat ke-40, Ronald Reagan.
ANTREAN di Gene & Jude's lebih panjang dari biasanya. Angin musim semi yang cukup hangat, 21 derajat Celcius malam itu, membuat orang-orang rela keluar rumah untuk memesan segenggam hot dog, potongan roti lapis dengan isian sosis panggang di dalamnya.
Kedai yang tak jauh dari pusat kota Chicago itu tidak dilengkapi meja-kursi. Pembeli hanya bisa memesan dan menyantap hidangan sembari berdiri. Tapi karena cukup penuh, sebagian orang memilih menghabiskan double dog dengan isian saus moster dan bawang bombai di dalam Chevy Cavalier-nya yang terparkir di halaman restoran.
Seorang pria paruh baya akhirnya dapat giliran untuk memesan makanan. Di depan papan menu, alih-alih memesan hot dog, pria ber-sweater abu-abu muda itu lebih memilih corn roll tamale, dengan aroma jagung yang cukup kuat, untuk menu makan malamnya.
Tak jauh dari mesin kasir, sebuah radio Grand Prix warna hitam mengeluarkan suara garukan akibat noise dari frekuensi FM yang tidak pas. Samar, speaker-nya menggaungkan laki-laki bersuara bariton.
Setelah frekuensi radio digeser sedikit ke kiri, jelas sudah kalau itu suara Ronald Reagan, presiden Amerika Serikat (AS) ke-40.
Saat itu, Selasa, 28 Mei 1985 pukul 8 malam waktu Washington DC, atau pukul 7 malam waktu Illinois, Reagan memberi pidato kenegaraan tentang reformasi pajak. Pidato tersebut disampaikan dari Ruang Oval Gedung Putih dan disiarkan langsung melalui jaringan radio dan televisi di seantero AS.
Terdesak lapar, pria tadi menyambar makanannya tanpa peduli isi omongan Reagan. Bahkan dia buru-buru membayar dan meninggalkan kembalian. Namun, jutaan warga Amerika lainnya justru tengah menyimak lekat-lekat pidato 'pertanggungjawaban' Reagan atas program-program kerjanya selama 5 tahun belakangan. Diam-diam, penjaga kasir mendekatkan telinganya ke arah radio, mendengarkan suara presiden AS ketiga yang berasal dari Illinois itu.
Memasuki paruh kedua presidensi Reagan, ekonomi AS memang menghadapi sejumlah tantangan. Reaganomics, julukan kebijakan ekonomi yang dilahirkan oleh Reagan, memang terbukti ampuh mengurangi angka pengangguran. Fenomena itu didorong oleh pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) yang dijalankan oleh Reagan selama 5 tahun terakhir.
Kebijakan ekonomi Reagan yang paling populer adalah pemangkasan pajak penghasilan. Berkat janjinya untuk memangkas tarif pajak, Reagan berhasil terpilih sebagai Presiden AS dalam pemilu pada 1980. Reagan menang telak. Kala itu, dia meraup 462 electoral votes, jauh di atas pesaingnya, Jimmy Carter, dengan 72 electoral votes.
Kebijakan ekonomi Reagan, yang juga populer sebagai voodoo economics, terbukti berhasil mengendalikan inflasi. Bahkan, angkanya menjadi yang terendah selama 30 tahun terakhir. Amerika Serikat memang dibayang-bayangi inflasi tinggi setelah Perang Vietnam.
Namun, pemotongan tarif PPh sejak 1981 tersebut membuat penerimaan negara menyusut drastis.
Melalui Reaganomics, yang dipengaruhi oleh prinsip supply side economics, AS harus kehilangan penerimaan pajak hingga US$540 miliar selama 5 tahun. Penerimaan pajak yang hilang ini berlangsung sejak diterbitkannya paket kebijakan ekonomi Reagan yang pertama, berjudul America's New Beginning: A Program for Economic Recovery.
Selama menjabat sebagai presiden, Reagan benar-benar memenuhi janji politiknya dalam kampanye pilpres melawan Jimmy Carter, yakni memangkas tarif tertinggi pajak penghasilan orang pribadi dari 70% menjadi 50% dan tarif terendahnya dari 14% menjadi 11%.
Pemotongan pajak yang memangkas penerimaan negara itu juga berbuntut pada bengkaknya defisit APBN. Untuk menambal hal ini, pemerintahan Reagan perlu lebih banyak menerbitkan surat berharga.
Melalui pidato kenegaraan yang disiarkan pada akhir Mei 1985 itu, Reagan menjelaskan apa-apa saja langkah antisipatif yang disiapkan pemerintah.
Dalam pidato itu, dia juga sedang berjuang mati-matian untuk menggolkan kebijakan lanjutan soal penurunan tarif pajak kepada kongres. Reagan tetap berpegang pada janji politiknya sejak awal, yakni memangkas pajak demi mendorong konsumsi masyarakat.
"We want to cut taxes, not opportunity [Kami ingin memangkas pajak, bukan peluang]," ujar Reagan dalam pidatonya.
Apapun konsekuensi ekonomi yang ditanggung Amerika Serikat akibat kebijakan supply side economics, Reagan memberikan contoh bagaimana seorang presiden menjalankan janji-janji politiknya.
Di satu sisi, rakyat juga bisa mengawal seluruh kebijakan yang dijalankan. Pada kasus Reagan, janji politik yang berhasil dipenuhinya ikut berdampak kepada tingkat elektoral Partai Republik. Hal ini terbukti pada terpilihnya George H.W. Bush, wakil presiden Reagan, dalam pemilihan presiden 1988.
Senada dengan Reagan, Bush juga mengangkat isu-isu ekonomi dalam kampanyenya, termasuk pajak. Bush bersikeras melanjutkan kebijakan ekonomi yang konservatif seperti menjanjikan tidak adanya kenaikan tarif pajak.
Kilas balik peristiwa di Amerika Serikat tersebut bisa menjadi rambu-rambu atas proses demokrasi yang juga berlangsung di Tanah Air saat ini.
Seperti diketahui, rakyat Indonesia kini tengah merayakan pesta demokrasi. Tepat besok, Rabu (14/2/2024), hari pemilihan umum tiba. Sebanyak 204,8 juta suara masyarakat akan menentukan siapa presiden Indonesia selama 5 tahun mendatang.
Tiga kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju dalam pemilihan umum tahun ini punya menu kebijakan yang berbeda-beda. Pajak ada di dalamnya. Program-program tentang pajak yang ditawarkan setiap kandidat seyogianya bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi rakyat dalam menggunakan hak suaranya.
Ke depannya, publik tidak boleh lupa terhadap apa-apa saja janji politik yang sudah diucapkan oleh presiden terpilih. Layaknya Reagan yang menepati janjinya saat kampanye, presiden RI terpilih nanti juga perlu dikawal agar tidak mengalami amnesia terhadap visi-misinya.
Hari pencoblosan bukanlah ujung perjalanan politik seorang calon presiden dan calon wakil presiden. Jika terpilih nanti, mereka perlu ditagih janjinya. Termasuk, soal pajak. (sap)