JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Kamis (5/17) sejumlah media diwarnai berita mengenai realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan. Penerapan faktur pajak elektronik (e-faktur) dan penerapan amnesti pajak tidak bisa mendongkrak penerimaan PPN.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi sementara PPN hingga 31 Desember 2016 sebesar Rp410,5 triliun. Jumlah tersebut hanya 86,6% dari target APBN-P 2016. Ini berarti, terjadi penurunan sebesar 3,12% dibanding 2015 lalu yang mencatat penerimaan sebesar Rp423,7 triliun.
Penurunan PPN ini, menjadi yang pertama kali sejak empat tahun ke belakang. Sebab selama periode tahun 2012-2015, realisasi penerimaan PPN selalu meningkat.
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Yon Arsal mengatakan penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada penerimaan PPN dalam negeri dan PPN impor. Selain itu, penurunan juga disebabkan oleh banyaknya pembayaran kembali pajak atas kelebihan pembayaran atau restitusi.
Kabar lainnya datang dari ketidakpastian perekonomian global yang dapat menghambat repatriasi dana dari pelaksanaan program amnesti pajak. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Data terkahir dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana repatriasi yang masuk ke bank persepsi hingga 27 Desember 2016 sebanyak Rp89,6 triliun. Padahal, komitmen repatriasi yang tercantum dalam Surat Penyertaan Harta (SPH) sebesar Rp141 triliun hingga akhir Desember 2016. Ketidakpastian perekonomian global dinilai menjadi penghambat repatriasi dana dari program amnesti pajak. Efek Donald Trump juga dikhawatirkan menjadi pemicu pemilik dana dan harta untuk menunda repatriasi. Pemilik dana cenderung menganggap dana yang masuk ke dalam negeri akan sulit untuk keluar lagi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati nampaknya harus bergegas melakukan evaluasi atas target penerimaan pajak tahun 2017 ini. Sebab, realisasi penerimaan perpajakan dalam APBN-P 2016 meleset dari target. Managing Partner DDTC Darussalam memperkirakan pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini hanya berkisar 10,9% atau sekitar Rp1.226 triliun. Proyeksi tersebut telah mempertimbangkan perlambatan ekonomi, inflasi, serta dampak kebijakan amnesti pajak.
Pemerintah berambisi menjadikan penanaman modal baik dari dalam negeri maupun luar negeri menjadi mesin baru bagi perekonomian Indonesia. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan bahwa investasi diharapkan mampu menopang melempemnya sektor konsumsi, belanja pemerintah, serta ekspor dan impor. Tahun ini pemerintah menargetkan realisasi investasi mencapai Rp678,8 triliun dan akan meningkat menjadi Rp863 triliun pada 2018.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memperkirakan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) yang digelontorkan bagi industri kecil dan menengah bakal mendorong pertumbuhan perdagangan internasional. Direktur Fasilitas Kepabeanan DJBC Robi Toni mengatakan pada tahap awal pengoperasian fasilitas tersebut akan dilakukan pada akhir Januari 2017. Pemerintah telah menetapkan satu kawasan industri kecil dan menengah (IKM) di sentra tembaga Tumang, Boyolali, Jawa Tengah dan rencananya akan ada beberapa sentra IKM lainnya yang mendapat fasilitas serupa.
Lagi-lagi, pemerintah siap merilis paket kebijakan ekonomi XV. Kali ini, sasarannya untuk memperkuat sektor logistik dan target mengurai waktu inap barang di pelabuhan atau dwelling time agar berangsur-angsur turun. Dalam skema paket kebijakan ekonomi XV yang akan segera dirilis ini, dwelling time¸mencapai 2 hari dari rata-rata saat ini 2,9 hari.
Pemerintah akan memulai menyalurkan bantuan beras untuk masyarakat miskin (raskin) dalam bentuk non-tunai mulai 14 Januari 2017. Penyaluran bantuan non-tunai ini akan diberikan secara elektronik dan menyasar sekitar 1,4 juta keluarga kurang mampu. Selain bantuan beras, rencananya subsidi listrik dan tabung gas (elpiji) 3 kilogram juga akan ikut disalurkan dengan mekanisme penyaluran uang elektronik. (Amu)