Kuasa hukum pemohon Viktor Santoso Tandiasa.
JAKARTA, DDTCNews - Pemohon mengajukan perbaikan atas permohonan pengujian materiil terhadap UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.
Dalam sidang perbaikan permohonan, jumlah pemohon bertambah dari 1 pemohon menjadi 3 pemohon. Tak hanya itu, pemohon juga melakukan perbaikan atas posita.
"Ini terkait dengan masukan Yang Mulia dalam hal penguatan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kaitannya [dengan] independensi peradilan pajak," ujar kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa dalam persidangan, Senin (10/4/2023).
Pemohon menyatakan independensi peradilan memiliki 2 sisi yakni bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan bebas menginterpretasikan undang sesuai dengan keyakinannya.
Namun, imbuh pemohon, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan absolut atau tanpa batas. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban untuk menegakkan keadilan secara efektif.
Adanya akuntabilitas bukanlah ancaman terhadap independensi, melainkan lebih untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.
Pemohon menekankan kemandirian peradilan tidak hanya berarti mandiri secara kelembagaan, tetapi juga kemandirian hakim secara individual dalam proses peradilan mulai dari pemeriksaan perkara hingga pada saat putusan dijatuhkan.
Meski UU Pengadilan Pajak menyatakan Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, faktanya pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan masih tetap dilaksanakan oleh Kemenkeu.
"Hanya teknis peradilan yang dilakukan oleh MA. Pengadilan Pajak belum dapat dinyatakan sepenuhnya independen," ujar kuasa hukum Angela Claresta Foek.
Kendati Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak menyatakan dualisme pembinaan oleh MA dan Kemenkeu tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memutus perkara, keberadaan eksekutif dalam tubuh Pengadilan Pajak dikhawatirkan akan mengurangi integritas Pengadilan Pajak.
Mengutip pernyataan mantan Hakim Agung Yahya M. Harahap, menempatkan badan peradilan di bawah lembaga eksekutif (meski hanya sebatas pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan) adalah simbol pengakuan yuridis bahwa peradilan berada di bawah kementerian yang bersangkutan.
"Selain itu, simbol tersebut juga menimbulkan efek politik dan psikologis yang sangat luas terhadap otonomi kemandirian kebebasan hakim dan juga berdampak luas terhadap nilai loyalitas para hakim itu sendiri," ujar Angela.
Pemohon juga menguraikan bahwa hakim tidak lagi dalam memegang kekuasan kehakiman ketika eksekutif masih mengikat persoalan manajemen kelembagaan peradilan. Dalam hal keuangan, remunerasi hakim berupa tunjangan di Pengadilan Pajak bahkan ditentukan oleh Kemenkeu lewat peraturan menteri keuangan (PMK).
Berdasarkan uraian tersebut, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 sepanjang frasa 'Departemen Keuangan' tidak dimaknai sebagai 'Mahkamah Agung'.
"Sehingga ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) selengkapnya berbunyi 'Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung'," ujar Angela membacakan petitum.
Pemohon juga mengajukan petitum alternatif. Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sampai dengan diundangkannya UU Pengadilan Pajak yang baru.
Bila undang-undang yang baru tidak dibentuk dalam waktu 3 tahun sejak putusan diucapkan, UU Pengadilan Pajak dinyatakan inkonstitusional secara permanen. (sap)