Pekerja mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (4/11/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) terus mendorong pemerintah daerah membangun kawasan industri hasil tembakau (KIHT).
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan banyak pemerintah daerah yang tertarik membangun KIHT di wilayahnya. Namun, kebanyakan daerah mengalami kendala keterbatasan anggaran sehingga mengandalkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).
"KIHT ini yang menjadi tantangannya adalah mengenai masalah alokasi pagunya, yang memang kadang-kadang butuh 2-3 tahun untuk melaksanakan," katanya, dikutip pada Sabtu (18/2/2023).
Askolani mengatakan pembentukan KIHT menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menekan peredaran rokok ilegal. Selain itu, KIHT terpadu juga berperan dalam pembangunan kawasan industri yang berfokus di bidang hasil tembakau.
Soal alokasi DBH CHT, pemerintah telah mengubah besaran persentasenya untuk kesehatan, kesejahteraan masyarakat, dan penegakan hukum. Program kesehatan mendapatkan alokasi DBH CHT sebesar 40%, sedangkan untuk program dukungan penegakan hukum 10%.
Sementara itu, program kesejahteraan masyarakat dialokasikan 50%, yang terdiri atas 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja, dan pembinaan industri; serta 30% untuk pemberian bantuan. Pada pos inilah pemda biasanya menyisihkan dana untuk membangun KIHT.
Mengenai alokasi DBH CHT tersebut, Askolani menyebut DJBC bakal berkolaborasi dengan Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) untuk membuat kebijakan yang lebih mendukung pembentukan KIHT di daerah.
Selain anggaran, dia menjelaskan tantangan lain yang dihadapi pemda dalam pembangunan KIHT misalnya soal izin dan luas kawasan.
Dengan KIHT yang makin banyak terbentuk di daerah, diharapkan para produsen dapat memproduksi rokok secara legal. Secara bersamaan, DJBC bersama dengan aparat penegak hukum juga bakal menggencarkan program pengawasan dan penindakan agar rokok ilegal tidak mengganggu pasar rokok legal.
"Kami mencoba melakukan pendekatan yang lebih kuat dengan pemda dan pelaku usaha dengan membuat KIHT, serta aparat penegak hukum untuk melakukan bimbingan," ujarnya.
Pembangunan KIHT telah diatur dalam PMK 21/2020. Pada KIHT tersebut, DJBC akan hadir memberikan pelayanan, pembinaan industri, serta mengawasi produksi dan peredaran hasil tembakaunya karena setiap rokok yang keluar dari kawasan tersebut wajib dilekati pita cukai.
KIHT nantinya bakal menjadi kawasan tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang produksi. Selain itu, DJBC juga dapat memberikan fasilitas cukai untuk para produsen rokok yang beroperasi di KIHT, misalnya penundaan pelunasan pita cukai.
Adapun sejauh ini, tercatat sudah ada 2 lokasi KIHT yang beroperasi yakni di Soppeng, Sulawesi Selatan dan Kudus, Jawa Tengah. (sap)