Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji dalam webinar DDTC Tax Weeks 2022. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Lanskap perpajakan, termasuk beragam peraturan dan relaksasi kebijakan, mengalami banyak perubahan selama pandemi Covid-19 yang terjadi dalam 2 tahun terakhir. Pandemi membuat sistem pajak di Tanah Air bergerak cepat.Â
Partner of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan kondisi tersebut mendatangkan peluang sekaligus tantangan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Tantangan yang muncul, menurut Bawono, lantaran perubahan sistem pajak erat kaitannya dengan kepastian pajak.Â
"Dalam kondisi ini, yang menjadi tantangan adalah kepastian pajak di tengah lanskap pajak yang banyak berubah," katanya dalam webinar pada Grand Opening of DDTC Surabaya Office and Launching New Publications of DDTC, Kamis (3/2/2022).
Bawono mengatakan perkembangan pajak pada saat ini dan tahun-tahun mendatang tidak bakal lepas dari berbagai perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-19 sejak 2Â tahun lalu.
Awalnya, ujar Bawono, perubahan kebijakan pajak ditujukan untuk menyelamatkan nyawa dan ekonomi. Namun, kebutuhannya kini berkembang sebagai instrumen pendorong daya saing investasi dan akselerator pemulihan ekonomi.
Dalam 2 tahun terakhir, berbagai undang-undang (UU) di sektor pajak telah disahkan. Beberapa di antaranya yakni UUÂ 2/2020, UU Bea Materai, UU Cipta Kerja klaster kemudahan berusaha bidang perpajakan, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Berlakunya sejumlah beleid tersebut, menurut Bawono, tidak terlepas dari upaya pemerintah mencapai komitmen pengendalian defisit melalui pengelolaan yang berkelanjutan. Selain itu, implementasi peraturan tersebut juga diharapkan mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19.
Bawono menilai APBN 2022 yang mengusung tema mendukung pemulihan ekonomi dan reformasi struktural mengindikasikan pemerintah tetap akan memberikan relaksasi pajak meski kebijakan fiskalnya diarahkan untuk konsolidasi.
Jika dipetakan, relaksasi pajak masih diberikan untuk berbagai keperluan seperti mendorong pemulihan dunia usaha, mendorong daya tarik investasi, mendorong kemudahan berusaha, serta mencapai keberpihakan kepada sektor atau wajib pajak tertentu.
Di samping itu, Bawono melanjutkan, pemerintah juga berupaya melanjutkan digitalisasi berbagai proses bisnis melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), yang telah dimulai pada 2018 dan direncanakan rampung pada 2023.
"Bagaimana digitalisasi itu mengubah banyak hal di sektor pajak, tidak hanya tentang pajak digital, tapi juga proses bisnis yang ikut berubah," ujarnya.
Tren konsolidasi fiskal tersebut terjadi di hampir semua negara di dunia saat ini. Salah satu upaya yang dilakukan yakni melalui optimalisasi penerimaan pajak, dengan pola yang diarahkan pada aspek kesehatan dan perubahan iklim.
Dengan berbagai perubahan tersebut, Bawono menekankan catatan penting yang perlu jadi perhatian yakni cara menjamin kepastian pajak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh otoritas dan seluruh stakeholders untuk mewujudkan kepastian pajak, menurutnya, adalah sikap terbuka terhadap digitalisasi administrasi perpajakan serta memahami perkembangan informasi di bidang perpajakan baik prosedural maupun legalnya.
Kemudian, kepastian pajak dapat dicapai apabila terdapat partisipasi publik dalam setiap proses kebijakan di sektor pajak. Selain itu, reformasi lanjutan juga diperlukan untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa perpajakan yang efektif dan efisien, serta melalui manajemen risiko pajak melalui strategi tax control framework bagi wajib pajak dan compliance risk management bagi otoritas pajak.
"Manajemen risiko pajak yang baik ini akan memberikan kepastian bagi wajib pajak dan otoritas pajak," imbuhnya. (sap)