Fungsional Penyuluh Madya DJP Dian Anggraeni dalam diskusi. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan EBITDA yang diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan digunakan oleh pemerintah menekan praktik penghindaran pajak oleh korporasi.
Melalui ketentuan debt to equity ratio (DER) yang selama ini berlaku, Fungsional Penyuluh Madya DJP Dian Anggraeni menilai, masih banyak korporasi yang dapat menekan pajaknya meski DER-nya tidak melampaui batas yang ditetapkan.
Persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan EBITDA sudah sesuai dengan international best practice karena telah digunakan oleh banyak negara, termasuk negara tetangga.
"Kalau [biaya pinjaman] melebihi persentase tertentu, maka akan ada risiko dikoreksi oleh DJP," ujar Dian dalam Sosialisasi Dampak Perubahan NPWP 16 Digit Bagi Sektor Perbankan, Kamis (13/1/2022).
Untuk diketahui, ketentuan mengenai besaran perbandingan utang dan modal atau DER untuk keperluan penghitungan pajak diatur dalam PMK 169/2015. Pada PMK tersebut, DER ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1.
Dalam UU PPh yang belum direvisi dengan UU HPP, pemerintah hanya memiliki kewenangan untuk menggunakan DER dalam mengatur batas biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk penghitungan pajak.
Rasio persentase tertentu biaya pinjaman terhadap EBITDA disepakati untuk dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh melalui UU HPP mengingat DER sudah tidak banyak digunakan oleh otoritas pajak di yurisdiksi lain.
"DER sudah tidak terlalu digunakan di banyak negara, yang dianggap lebih fair adalah menggunakan EBITDA," ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama pada Desember 2021. (sap)