Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyampaikan terdapat 2 sektor yang berpotensi masuk skema perdagangan emisi dan pajak karbon menyusul PLTU batubara.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar mengatakan skema perdagangan emisi dan pajak karbon pada PLTU batubara merupakan langkah awal penerapan kebijakan yang diatur dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurutnya, ada 2 sektor lain yang berpotensi menyusul PLTU batubara.
"Selain PLTU yang dalam diskusi itu seperti refinery [kilang migas] atau nanti langsung loncat ke [sektor] transportasi," katanya dalam acara Indonesia Carbon Forum, Rabu (1/12/2021).
Wanhar menuturkan dari kedua sektor tersebut yang paling memungkinkan menyusul PLTU batubara dalam skema perdagangan emisi dan pajak karbon adalah fasilitas penyulingan migas atau refinery. Sementara itu, sektor transportasi membutuhkan waktu lebih lama dalam pembahasan.
Pasalnya, untuk sektor transportasi membutuhkan pembahasan lintaskementerian, yaitu dengan Kemenhub. Sementara itu, opsi refinery masuk dalam skema perdagangan emisi dan pajak karbon dalam pembahasan internal kementerian.
Dia menyampaikan penyusunan batas emisi (cap and trade) sektor refinery migas sudah mulai didiskusikan. Menurutnya, cap and trade migas juga harus ditentukan agar bisa masuk dalam rezim perdagangan emisi dan pajak karbon.
"Jadi di luar pembangkit listrik ada refinery migas yang cap-nya juga harus ditentukan. Ditjen Migas yang akan bahas dan mendiskusikan kemudian diusulkan menjadi keputusan menteri," imbuhnya.
Melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ketentuan pajak karbon dimulai April 2022. Sebagai tahap awal, pajak karbon baru akan dikenakan pada PLTU batu bara.
Pajak karbon akan dikenakan menggunakan mekanisme pajak karbon yang mendasarkan cap and tax. Mengenai tarif, pemerintah dan DPR menyepakati tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). (sap)