Menteri Keuangan Sri Mulyani. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai lifting minyak dan gas bumi (migas) terus menunjukkan tren penurunan, bahkan capaiannya di bawah asumsi pemerintah dalam UU APBN.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus berupaya memperbaiki kebijakan di bidang migas, terutama pada sektor hulu. Dalam hal itu, lanjutnya, pemberian insentif fiskal bukan menjadi satu-satunya penentu untuk meningkatkan investasi dan produksi.
"Perlu dukungan fiskal atau insentif untuk mendorong investasi di hulu migas. Tapi itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan," katanya dalam The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021, Selasa (30/11/2021).
Sri Mulyani menuturkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi investasi di sektor hulu migas di antaranya mengenai kepastian kontrak, teknologi, tata kelola yang baik, dan transparansi.
Persoalan di bidang migas pun cenderung kompleks karena objeknya berupa sumber daya alam sehingga setiap kebijakan yang dirumuskan dalam eksplorasi diarahkan untuk tidak hanya bermanfaat untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi berikutnya.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah terus berupaya membuat kebijakan di sektor migas secara baik dan kredibel untuk mendukung investasi di sektor hulu migas. Misal, dengan menyempurnakan skema kontrak pengelolaan wilayah kerja migas menjadi cost recovery dan gross split.
Pemerintah juga akan memastikan setiap kebijakan yang diterbitkan dapat memberikan hasil optimal dalam meningkatkan produksi migas di Indonesia.
"Kementerian ESDM baru-baru ini berdiskusi dengan kami di Kemenkeu untuk mendesain kebijakan fiskal yang lebih komprehensif, dan ini masih dalam proses diskusi," ujarnya.
Dengan berbagai upaya perbaikan kebijakan tersebut, Sri Mulyani berharap lifting migas dapat terus meningkat. Dia menyebut lifting migas telah turun ke level yang lebih rendah dibandingkan dengan 2 dekade lalu.
Rendahnya lifting juga menjadi salah satu pemicu terjadinya defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran, terutama ketika harga minyak dunia sedang tinggi.
"Faktanya, produksi minyak dan gas terus menurun sehingga menciptakan kesenjangan permintaan yang makin lebar," tuturnya. (rig)