BERITA PAJAK SEPEKAN

Terpopuler: Batas Kepesertaan PPS & Penghasilan Selain Gaji Dipajaki

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 13 November 2021 | 08.00 WIB
Terpopuler: Batas Kepesertaan PPS & Penghasilan Selain Gaji Dipajaki

JAKARTA, DDTCNews - Isu terpopuler dalam sepekan terakhir masih diramaikan oleh sejumlah poin aturan dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satunya, soal ketentuan kepesertaan dalam program pengungkapan sukarela (PPS) yang bakal digelar selama 6 bulan pada 2022 mendatang. 

Wajib pajak yang berniat mengungkapkan hartanya perlu memahami, WP badan nonpeserta tax amnesty tidak bisa mengikuti PPS, baik melalui kebijakan I maupun kebijakan II.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan PPS memang hanya difokuskan kepada peserta tax amnesty dan wajib pajak orang pribadi saja.

"Kebijakan I PPS ditujukan untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty yang lalu, sedangkan kebijakan II hanya ditujukan untuk wajib pajak orang pribadi saja," ujar Neilmaldrin.

Mengenai kebijakan II PPS, Neilmaldrin menjelaskan ketentuan yang tertuang memang difokuskan kepada wajib pajak orang pribadi mengingat kepatuhan wajib pajak badan sudah tergolong lebih baik.

"Wajib pajak badan relatif lebih tertata, pembukuan dan SPT-nya relatif sudah lengkap, dan jumlahnya tidak sebanyak wajib pajak orang pribadi. Wajib pajak orang pribadi sebaliknya," ujar Neilmaldrin.

Oleh karena itu, kebijakan II PPS dirancang khusus untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi, bukan wajib pajak badan.

Berita lengkap mengenai kepesertaan PPS ini, baca Catat! Wajib Pajak Badan Bukan Peserta Tax Amnesty Tak Bisa Ikut PPS

Topik lain yang juga santer dibaca warganet berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk menjadikan penghasilan selain gaji alias natura yang diterima wajib pajak sebagai objek pajak. 

Melalui ketentuan terbaru yang tertuang dalam UU HPP ini, fasilitas-fasilitas yang diterima karyawan dan tidak dikecualikan dari objek pajak bakal berpotensi terutang PPh.

"Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan ... adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan," bunyi ayat penjelas dari Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP.

Diperinci pada ayat penjelas tersebut, yang dimaksud dengan imbalan dalam bentuk natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang. Adapun imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas.

Merujuk pada Naskah Akademik RUU KUP, penetapan natura sebagai objek pajak diperlukan untuk mengantisipasi potential tax loss yang timbul akibat perbedaan tarif antara PPh badan dan PPh orang pribadi.

Dengan perbedaan antara tarif PPh badan yang flat sebesar 22% dan PPh orang pribadi yang progresif, maka imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan bakal lebih menguntungkan bagi wajib pajak orang pribadi ketimbang imbalan dalam bentuk tunai.

Pengenaan pajak atas natura juga diperlukan seiring dengan berkembangnya model bisnis saat ini. Saat ini, terdapat influencer yang memperoleh imbalan bukan dalam bentuk uang, melainkan produk yang dipromosikan.

Kendati begitu, masih ada 5 jenis natura yang dikecualikan dari objek pajak. Apa saja? Baca artikel lengkapnya di Penghasilan Selain Gaji Bakal Kena Pajak, Simak Penjelasan Lengkapnya

Selain 2 artikel di atas, masih ada sejumlah berita lain yang menarik untuk dibaca dan diulas. Berikut adalah 5 berita teratas DDTCNews dalam satu pekan terakhir:

1. Batas Omzet UMKM Tak Kena Pajak Masih Bisa Dinaikkan, Simak Syaratnya
Batasan peredaran bruto tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM pada HPP masih bisa diubah. Syaratnya, ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR RI.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP, batasan peredaran bruto sebesar Rp500 juta dapat dinaikkan ataupun diturunkan melalui peraturan menteri keuangan (PMK).

"Penyesuaian besarnya ... batasan peredaran bruto tidak dikenai PPh ... ditetapkan dengan PMK setelah dikonsultasikan dengan DPR RI," bunyi Pasal 7 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

Diperinci pada ayat penjelas dari Pasal 7 ayat (3), menteri keuangan perlu berkonsultasi dengan Komisi XI DPR RI sebelum menyesuaikan batasan peredaran bruto tidak kena pajak.

Namun, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan atau menurunkan batasan peredaran bruto tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM. Di antaranya, perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahun.

Seperti diketahui, batasan peredaran bruto tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM akan berlaku mulai tahun pajak 2022. Sebagaimana diatur pada Pasal 17 UU HPP, ketentuan UU PPh pada UU HPP berlaku mulai tahun pajak 2022.

2. UU HPP Hapus Ketentuan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
UU HPP menghapus ketentuan mengenai pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan pada UU PPN.

Melalui UU HPP, pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menghapus Pasal 9 ayat (7), ayat (7a), dan ayat (7b) UU PPN. Rencana penghapusan ketentuan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan juga sudah tertuang pada naskah akademik RUU KUP.

"Ketentuan mengenai pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang peredaran usahanya dalam 1 tahun tidak melebihi jumlah tertentu dan PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dihapus," tulis pemerintah pada naskah akademik RUU KUP.

Untuk diketahui, pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan selama ini berlaku contohnya pada kegiatan usaha perdagangan mobil dan motor bekas.

Pada kegiatan usaha tersebut, pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 90% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang wajib disetorkan pada setiap masa pajak adalah sama dengan 1% dari peredaran usaha.

3. DJP Online Kenalkan Fitur Baru 'Portal Layanan', Seperti Apa?
DJP memperkenalkan fitur baru berupa portal layanan pada sistem DJP Online.

Neilmaldrin mengatakan fitur baru dengan nama 'Portal Layanan' sudah tersedia dan dapat diaktifkan oleh wajib pajak. Fitur tersebut akan menjadi wadah konsolidasi seluruh pelayanan administrasi perpajakan.

"Jadi fitur baru 'Portal Layanan' adalah menu untuk seluruh layanan permohonan administrasi selain lapor dan bayar," katanya.

Neilmaldrin menjelaskan fitur portal layanan akan menjadi rumah baru bagi portal konfirmasi status wajib pajak (KSWP). Nantinya, seluruh layanan yang masuk dalam portal KSWP akan berpindah ke portal layanan DJP Online.

Dia menyebutkan proses bisnis tersebut akan dilakukan secara bertahap. Pada saat ini layanan yang tersedia di Portal Layanan adalah pengungkapan permohonan ketidakbenaran perbuatan.

Adapun Portal Layanan di DJP Online merupakan laman khusus yang disediakan kepada wajib pajak. Portal tersebut menjadi sarana wajib pajak mendapatkan layanan elektronik secara mandiri.

4. Aturan Baru! Syarat Penerima Subsidi Gaji atau Upah Dilonggarkan
Pemerintah resmi memperluas penyaluran bantuan subsidi upah atau gaji kepada pekerja yang terdampak pandemi Covid-19.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 21/2021 yang mengatur perluasan penyaluran tersebut. Selain itu, salah satu persyaratan pekerja yang menerima subsidi gaji juga dihapus.

"Bahwa untuk memperluas cakupan pemberian bantuan pemerintah berupa subsidi gaji/upah bagi pekerja/buruh, perlu dilakukan penyesuaian terhadap persyaratan penerima bantuan subsidi gaji/upah," bunyi bagian pertimbangan dalam Permenaker 21/2021.

Permenaker 21/2021 merevisi Pasal 3 ayat (2) yang memuat persyaratan pekerja penerima subsidi gaji mengenai pekerja harus bekerja di wilayah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 dan 4 sesuai penetapan pemerintah.

Dengan dihapusnya syarat tersebut, kini hanya terdapat 4 syarat untuk pekerja penerima subsidi upah. Apa saja? Klik tautan pada judul di atas.

5. UU HPP Beri Penegasan Soal Kedudukan Pemeriksaan Bukper
Pemeriksaan bukti permulaan (bukper) oleh PPNS DJP memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan yang diatur dalam KUHAP.

Penyuluh Pajak Ahli Pertama Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Zauki mengatakan penegasan tersebut ada dalam perubahan Pasal 43A UU KUP dalam UU HPP.

“Di pasal tersebut menegaskan pemeriksaan bukti permulaan mempunyai tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan dalam KUHAP. UU HPP ini memberikan kepastian hukum dan penegasan atas Pasal 43A yang sudah diatur dalam UU KUP sebelumnya,” ujarnya.

Pemeriksaan bukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukper tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.

Bukper berarti keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Selain itu, bagian penjelasan Pasaal 43A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP juga memuat perluasan sumber bukper. Dalam ketentuan yang baru, pengembangan serta analisis informasi, data, dan pengaduan dilakukan melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.