Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menegaskan pajak karbon yang diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan pemajakan atas emisi.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pajak karbon adalah instrumen yang disediakan melalui UU HPP untuk memfasilitasi transisi Indonesia menuju green economy.
"Kalau cap dari suatu sektor, cap emisinya terpenuhi, maka tidak dikenai pajak karbon. Kalau cap dipenuhi sebagian lewat perdagangan karbon, maka bagian yang tidak dapat dipenuhi menjadi objek pajak karbon," terang Suahasil, Kamis (11/11/2021).
Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, pajak karbon di Indonesia pada UU HPP merupakan kombinasi antara cap, trade, and tax. Dengan demikian, pemungutan pajak karbon tidak dihitung langsung berdasarkan emisi yang dikeluarkan.
Pajak yang dibayarkan nantinya adalah sebesar selisih antara karbon yang dihasilkan dan cap yang ditetapkan.
Skema pajak karbon Indonesia juga akan dilengkapi dengan skema perdagangan karbon sehingga perusahaan penghasil emisi dapat membeli kredit karbon dari proyek-proyek ramah lingkungan.
Penerapan cap, trade, and tax diharapkan dapat membantu Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditetapkan. Indonesia dalam NDC menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Pajak karbon pada UU HPP akan mulai berlaku per April 2022 dan akan dikenakan terlebih dahulu atas PLTU batu bara. Tarif pajak karbon yang disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah senilai Rp30 per kilogram CO2e, lebih rendah dari usulan awal yang senilai Rp75 per kilogram CO2e. (sap)