Ilustrasi.
KENDARAAN bermotor kini menjadi moda transportasi yang sangat dibutuhkan untuk mendukung mobilitas masyarakat. Banyak opsi yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan atas kendaraan bermotor. Salah satunya dengan membeli kendaraan bermotor bekas pakai.
Pembelian melalui pengusaha yang menjajakan kendaraan bermotor bekas tetap terutang pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, mekanisme pengkreditan pajak masukan atas kendaraan bermotor bekas berbeda dengan mekanisme pada umumnya.
Lantas, bagaimana sebenarnya ketentuan PPN serta pengkreditan pajak masukan atas penjualan kendaraan bermotor bekas?
Dasar hukum yang mengatur tentang ketentuan PPN atas penjualan kendaraan bermotor bekas tertuang dalam UU PPN, Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-238/PJ/2002 (KEP-238/PJ/2002), dan Peraturan Menteri Keuangan No.79/PMK.03/2010 (PMK 79/2010).
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) KEP-238/PJ/2002, atas penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh pengusaha kendaraan bermotor bekas yang semata-mata merupakan barang dagangannya terutang PPN.
Adapun kendaraan bermotor bekas adalah kendaraan bermotor baik roda dua atau lebih yang kondisinya bukan baru. Kendaraan tersebut juga telah terdaftar pada instansi yang berwenang atau memiliki nomor polisi (Pasal 1 angka 1 KEP-238/PJ./2002).
Sementara itu, pengusaha kendaraan bermotor bekas adalah orang pribadi atau badan yang kegiatan usahanya melakukan penjualan kendaraan bermotor bekas. Penjualan kendaraan bekas yang dikenakan PPN adalah penjualan dari pengusaha yang kegiatan usahanya semata-mata menjajakan kendaraan bekas. Simak pula 'Apa Itu PKP Kegiatan Usaha Tertentu?'.
Berdasarkan pada PMK 79/2010, kegiatan usaha yang semata-mata menyerahkan kendaraan bermotor bekas secara eceran termasuk dalam kegiatan usaha tertentu. Untuk itu, besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan harus dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan (Pasal 9 ayat (7a) UU PPN).
Secara lebih terperinci, pajak masukan atas kendaraan bermotor yang dapat dikreditkan adalah sebesar 90% dari pajak keluaran. Sementara itu, pajak keluaran dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% dengan peredaran usaha
Dengan demikian, PPN yang wajib disetor pengusaha pada setiap masa pajak setara dengan 1% dari peredaran usaha. Guna memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut ilustrasi penghitungan PPN dan pengkreditan pajak masukan atas penjualan kendaraan bermotor.
PT. Gelanggang Motor menggelola showroom mobil dan sepeda motor bekas yang sudah dikukuhkan sebagai PKP sejak 14 Januari 2014. Pada Januari 2021, PT. Gelanggang motor menjual 4 unit mobil bekas dengan harga jual seluruhnya senilai Rp600 juta.
Sementara itu, pajak masukan atas perolehan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang berhubungan dengan kegiatan usaha pada Januari 2021 berjumlah Rp40 juta. Dengan demikian, PPN yang wajib disetor masa Januari 2021 adalah:
Pajak keluaran (10% x peredaran usaha)
10% x Rp600.000.000 = Rp60.000.000
Pajak masukan yang dapat dikreditkan
90% x pajak keluaran = Rp54.000.000
PPN yang wajib disetor
pajak keluaran – pajak masukan = Rp6.000.000
Sementara itu, pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pada Januari 2021 senilai Rp40 juta tidak dapat dikreditkan (Pasal 3 KEP-238/PJ./2002). Pajak masukan Rp40 juta tersebut juga tidak dapat dibebankan sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan/PPh (Pasal 6 PMK 79/2010). (kaw)