Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Kendati barang kebutuhan pokok dihapus dari jenis barang yang dikecualikan dari PPN pada RUU KUP, pemerintah mempertimbangkan untuk memberikan fasilitas tidak dipungut atas barang-barang tersebut.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan meski barang kebutuhan pokok diusulkan untuk tidak termasuk barang yang dikecualikan dari PPN, terdapat potensi pemberian fasilitas PPN tidak dipungut atas barang tersebut.
"Seperti sembako yang memang benar-benar nanti dibutuhkan masyarakat banyak, mungkin bukannya tidak kena, justru bisa kami fasilitasi dalam bentuk PPN tidak dipungut," katanya, dikutip pada Senin (30/8/2021).
Potensi-potensi yang sama juga sedang dirumuskan pemerintah atas jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti jasa kesehatan dan jasa pendidikan.
Dalam hal jasa kesehatan, Yoga mengatakan pemerintah sedang memikirkan potensi untuk tidak mengenakan PPN atas jasa kesehatan sifatnya mendasar dan tercakup dalam sistem jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan.
"Kami ingin mencoba mendorong sistem kesehatan nasional. Misal, kalau jasa kesehatan yang ter-cover BPJS, kami lepas dari unsur PPN," tuturnya.
Mengenai jasa pendidikan, lanjut Yoga, jasa pendidikan yang sifatnya mendasar dapat tidak dikenai PPN. Menurutnya, pendidikan yang sifatnya sosial kemanusiaan akan dipertimbangkan untuk tidak dikenakan PPN.
Dia juga menegaskan, apabila barang-barang dan jasa-jasa tersebut dikenai PPN, tarif yang berlaku atas barang dan jasa tersebut tak serta merta dipatok sebesar 12% sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah dalam RUU KUP.
Pemerintah mengusulkan skema tarif PPN multitarif dengan range 5—25%. Barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat akan dikenai PPN dengan tarif lebih rendah dari tarif umum 12%. Pemerintah juga menyiapkan skema PPN final dengan tarif sebesar 1—2% pada RUU KUP.
"Kami sangat memperhatikan masukan-masukan terkait ini. Nanti dalam pembicaraan dengan DPR akan disepakati seperti apa," ujar Yoga. (rig)