Ilustrasi.Â
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana mengurangi fasilitas-fasilitas pengecualian dan pembebasan guna menciptakan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang lebih baik.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Hidayat Amir mengatakan pada saat ini, terlalu banyak pengecualian dan pembebasan dalam sistem PPN yang berlaku di Indonesia. Hal ini mengganggu efektivitas sistem PPN.
"Exemption mau kita kurangi. Caranya seperti apa? Ini sedang kami siapkan. Ini akan menjadi objek diskusi nanti ketika tiba masanya," ujar Amir, Jumat (4/6/2021).
Melalui reformasi sistem PPN, pemerintah berharap otoritas pajak dapat mengumpulkan lebih banyak penerimaan PPN dari konsumsi masyarakat kelas menengah Indonesia yang saat ini sedang bertumbuh.
Dalam KEM-PPKF 2022 diketahui peran rumah tangga kelas menengah dalam konsumsi mengalami peningkatan secara konsisten. Pada 2002, kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi tercatat hanya sebesar 21%. Pada 2018, kontribusinya naik hingga menjadi 47%.
Berdasarkan pada catatan World Bank, secara tahunan, konsumsi dari rumah tangga kelas menengah tercatat tumbuh 12% setiap tahunnya terhitung sejak 2002. Meski konsumsi rumah tangga terus mengalami pertumbuhan, sistem PPN masih belum mampu menangkap potensi pajak dari aktivitas konsumsi tersebut secara optimal.
"Kalau sistem PPN-nya makin baik, ini akan menjadi sumber penerimaan," ujar Amir.
Sebagaimana tertuang dalam Laporan Belanja Perpajakan 2019, PPN/PPnBM selalu berkontribusi besar terhadap belanja perpajakan. Dari total belanja perpajakan senilai Rp257,22 triliun pada 2019, penerimaan Rp166,92 triliun di antaranya adalah belanja PPN/PPnBM.
Melalui revisi UU KUP, pemerintah berencana mengurangi pengecualian dan pembebasan PPN serta akan mengenakan PPN multitarif. Barang-barang yang sifatnya dibutuhkan oleh masyarakat dipertimbangkan untuk dikenai tarif PPN yang lebih rendah dari tarif umum. Simak ‘Perubahan Sistem PPN, Kebijakan Komplementer Penurunan Tarif PPh Badan’. (kaw)