Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji saat memaparkan materi dalam webinar bertajuk Digital Transaction in Taxation, Selasa (12/1/2021). (tangkapan layar Zoom)
SURABAYA, DDTCNews – Aksi unilateral melalui pengenaan digital service tax (DST) atau pajak-pajak sejenisnya belum tentu bisa menjamin kedaulatan perpajakan suatu yurisdiksi.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan kebijakan perpajakan yang diambil oleh suatu negara juga berpotensi menciptakan respons kebijakan dari negara lain.
"Kenyataannya kita perlu mempertimbangkan spillover effect. Kita tidak bisa membuat kebijakan pajak dalam ruang terisolasi. Jadi, argumen aksi unilateral bisa menjamin kedaulatan pajak tidak sepenuhnya benar,” ujar Bawono dalam webinar bertajuk Digital Transaction in Taxation, Selasa (12/1/2021).
Sebagai ilustrasi, ada suatu negara yang menurunkan tarif pajak dari 25% menjadi 15% guna menarik investasi. Kebijakan ini berpotensi direspons oleh negara lain dengan menurunkan tarif pajak pula. Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dari penurunan tarif pajak itu bisa jadi tidak tercapai.
Oleh karena itu, Bawono berpandangan tercapainya konsensus pajak sebagai aksi multilateralisme bisa menjamin kedaulatan pajak dari masing-masing negara setidaknya pada level yang minimal dan setara (at the minimum and equal level).
Masalah pemajakan atas ekonomi digital, sambung dia, merupakan permasalahan global dan tidak hanya dihadapi oleh 1 negara. Hal ini membuat diperlukannya solusi global untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dengan diterbitkannya blueprint atau cetak biru atas proposal Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti-Base Erosion (GloBE) oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Bawono melihat setidaknya sudah ada sinyal positif ketercapaian konsensus.
Meski demikian, akhir-akhir ini memang mulai banyak penerapan DST sebagai aksi unilateral serta munculnya solusi bilateral yang diusung oleh PBB.
"Aksi unilateral dan bilateral itu rasional dari sisi penerimaan. Memang DST secara penerimaan akan menguntungkan, tetapi apakah tax burden tersebut diserap oleh raksasa digital? Atau justru yang dirugikan adalah kesejahteraan konsumen?” ujar Bawono.
Dalam acara yang digelar Tax Center Politeknik Ubaya dan Kanwil DJP Jawa Timur I ini, dia mengatakan aksi unilateral dan bilateral untuk mengatasi tantangan pemajakan ekonomi digital memang rasional tapi pada batas tertentu cenderung tidak efisien.
Bawono mengatakan solusi multilateral merupakan solusi yang paling baik (first-best solution). Hanya saja, untuk mencapai konsensus multilateral tersebut masih terdapat masalah teknis dan masalah politik yang susah ditemukan solusinya.
"Saya percaya kalau bicara pajak digital, ini adalah ujian terbesar dari bagaimana global tax governance ke depan. Jadi, bagaimana suatu tata kelola kebijakan internasional dibentuk, siapa aktornya, siapa leader-nya, apa nilai yang digunakan, seideal apa, [dan] seadil apa. Ini ujian terberat,” jelasnya. (kaw)