Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Arnaldo Purba saat memaparkan materi dalam webinar bertajuk Digital Transaction in Taxation, Selasa (12/1/2021). (tangkapan layar Zoom)
SURABAYA, DDTCNews – Proposal yang diusung Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Pillar 1: Unified Approach dinilai sebagai opsi terbaik dalam menyelesaikan tantangan perpajakan yang timbul akibat ekonomi digital.
Kepala Seksi Pertukaran Informasi I Direktorat Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Arnaldo Purba mengatakan Pillar 1 merupakan opsi yang terbaik terutama bila kompleksitas dari proposal tersebut bisa diminimalisasi.
“Pillar 1 seiring dikritik karena kompleksitasnya. Pillar 1 mendorong agar basis pajak korporasi secara global dibagi antaryurisdiksi. Ini adalah perubahan struktural yang besar sehingga tidak mudah," ujar Arnaldo dalam webinar bertajuk Digital Transaction in Taxation, Selasa (12/1/2021).
Pillar 1 juga mewajibkan adanya mandatory binding arbitration untuk mewadahi penyelesaian sengketa. Aspek ini merupakan hal baru bagi beberapa yurisdiksi, termasuk Indonesia.
Dalam acara yang digelar Tax Center Politeknik Ubaya dan Kanwil DJP Jawa Timur I ini, Arnaldo mengatakan akibat dari kompleksitas tersebut, beberapa negara cenderung pesimistis dengan tercapainya konsensus atas Pillar 1.
Terlepas dari faktor-faktor tersebut, Arnaldo mengatakan Pillar 1 merupakan solusi yang lebih baik bila dibandingkan dengan aksi unilateral melalui digital service tax (DST) atau pengenaan pajak digital melalui modifikasi konsep kehadiran fisik pada perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang diusung PBB.
Menurutnya, pengenaan pajak digital secara bilateral melalui modifikasi P3B juga cukup menantang. Negara yang terikat dalam P3B belum tentu memiliki sumber daya yang cukup untuk menyelenggarakan renegosiasi P3B. Negara mitra juga belum tentu mau untuk memodifikasi atau bahkan mengorbankan sebagian hak pemajakannya.
Aksi unilateral melalui pengenaan DST pada satu sisi memang bisa meningkatkan potensi penerimaan pajak yang tengah mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19. Namun, pengenaan DST berisiko menimbulkan adanya aksi retaliasi dari negara lain.
"Yurisdiksi yang sudah menerapkan DST perlu memperhatikan tekanan dari negara lain, seperti contoh yang dilakukan oleh AS (Amerika Serikat)," ujar Arnaldo. (kaw)