GUGATAN PERPU NO 2/2020

DPR: Tidak Mungkin Ada Keringanan Pajak dengan Larangan PHK

Muhamad Wildan
Selasa, 20 Oktober 2020 | 16.46 WIB
DPR: Tidak Mungkin Ada Keringanan Pajak dengan Larangan PHK

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: DDTCNews)

JAKARTA, DDTCNews - DPR RI menilai gugatan yang diajukan pemohon Perkara No. 37/PUU-XVIII/2020 terkait dengan penurunan pajak penghasilan (PPh) badan dan pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pada UU No. 2/2020 tidak tepat.

Di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), perwakilan DPR RI Misbakhun tidak mungkin dibuat aturan pemberian keringanan pajak dibarengi dengan adanya larangan PHK.

"DPR menerangkan pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lainnya. Keringan pajak diberikan dengan harapan mampu menstimulasi perkembangan perusahaan," ujar Misbakhun, dikutip Jumat (16/10/2020).

Menurut dia, ketentuan mengenai hubungan industrial antara pemberi kerja dengan pekerja sudah diatur melalui UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada UU tersebut, telah diatur mengenai PHK dan mengenai perjanjian kerja. "Ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja," ujar Misbakhun.

Mengenai pengenaan pajak baik PPh, pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak transaksi elektronik (PTE), gugatan dari pemohon Perkara No. 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta agar perlakuan pajak atas PMSE diatur dalam UU tersendiri tidak beralasan menurut hukum.

Misbakhun menerangkan perlakuan perpajakan atas PMSE perlu diatur untuk menambah objek pajak baru yang bisa dipungut oleh negara guna meningkatkan tax ratio.

Ketentuan perpajakan PMSE juga diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan digital yang berkembang cepat serta menciptakan level playing field antara pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha PMSE asing yang bertransaksi dengan konsumen di Indonesia tanpa kehadiran fisik.

"Pelaku usaha ekonomi digital di luar negeri mendapatkan penghasilan signifikan dari Indonesia, tanpa perlu membayar pajak. Untuk itu, pemajakan PMSE diharapkan menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa akan datang," ujar Misbakhun.

Bila pemajakan atas PMSE tidak segera diterapkan, Misbakhun berargumen akan ada kekosongan hukum dan mendorong penghindaran serta pengelakan pajak. Kekosongan hukum ini tidak dapat diatasi dengan prosedur pembuatan UU biasa pada masa pandemi Covid-19.

Untuk diketahui, pemohon Perkara No. 37/PUU-XVIII/2020 berpandangan penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% pada 2020 dan 2021 serta menjadi 20% pada 2022 melalui UU No. 2/2020 yang tidak diiringi dengan pelarangan PHK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Lebih lanjut, perlakuan pajak PMSE juga dipandang bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 serta Putusan MK No. 138/PUU-VII 2009 dan No. 1/PUU-II/2014 yang mewajibkan adanya UU tersendiri dalam pengaturan perpajakan.

Pemohon Perkara No. 37/PUU-XVIII/2020 adalah badan hukum bernama Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) serta 3 orang bernama Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.