Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Kegagalan tercapainya kesepakatan atas Pilar 1: Unified Approach bakal membuka ruang bagi negara-negara termasuk Indonesia untuk menerapkan pajak digital atau digital services tax (DST) secara unilateral.
Analis Kebijakan Perpajakan Internasional BKF Melani Dewi Astuti mengatakan bila setiap yurisdiksi satu per satu menerapkan DST secara unilateral sesuai dengan versinya masing-masing, akan terdapat potensi timbulnya retaliasi dari AS.
"Kalau negara apply satu per satu unilateral measures, ada risiko AS akan melakukan retaliasi. Kondisi Indonesia saat ini surplus [dagang] dengan AS. Kalau ada retaliation tax itu Indonesia yang rugi. Itu kita pertimbangkan, tetapi untuk saat ini kita menunggu Pilar 1," ujar Melani Analis Kebijakan Perpajakan Internasional BKF Melani Dewi Astuti, dikutip Kamis (17/11/2022).
Bila suatu saat Indonesia perlu menerapkan pajak digital karena Pilar 1 tak kunjung bisa diimplementasikan, Melani mengatakan Indonesia perlu mengenakan pajak digital berdasarkan undang-undang baru.
Perpu 1/2020 yang ditetapkan melalui UU 2/2020 hanya berlaku saat pandemi. Dengan demikian, pajak transaksi elektronik (PTE) pada Perpu 1/2020 tak bisa dikenakan bila pandemi telah usai.
"Saat ini belum ada keppres yang menyatakan pandemi berakhir. Kalau ada keppres itu maka UU 2/2020 tidak berlaku lagi, termasuk substansinya. Kalau begitu kita harus berpikir ulang bagaimana kalau Pilar 1 tidak mencapai critical mass kita mesti memikirkan PTE baru di undang-undang baru," ujar Melani.
Untuk diketahui, Pilar 1 akan menjadi landasan dari realokasi hak pemajakan kepada yurisdiksi pasar atas penghasilan yang diperoleh perusahaan multinasional meski perusahaan tidak memiliki kehadiran fisik di yurisdiksi pasar.
Yurisdiksi pasar mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima oleh korporasi multinasional yang tercakup pada Pilar 1. Adapun perusahaan multinasional yang tercakup pada Pilar 1 adalah perusahaan dengan pendapatan global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.
Untuk menerapkan Pilar 1, yurisdiksi-yurisdiksi harus menandatangani multilateral convention (MLC) atas Pilar 1. OECD sendiri menargetkan MLC bisa ditandatangani pada semester I/2023 dan berlaku (entry into force) pada 2024.
Walau demikian, perlu dicatat bahwa Pilar 1 baru bisa diimplementasikan bila critical mass of jurisdiction sudah meratifikasi MLC. Menurut OECD, critical mass of jurisdiction turut mencakup yurisdiksi domisili tempat mayoritas perusahaan multinasional bermarkas.
Dengan demikian, nasib dari implementasi Pilar 1 sangat bergantung pada sikap AS ke depan. Kalaupun Pemerintah AS berkomitmen untuk meratifikasi Pilar 1, pemerintah masih perlu mendapatkan persetujuan dari Kongres AS. (sap)