Dirjen Pajak Suryo Utomo. (foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Dirjen Pajak Suryo Utomo menanggapi usulan Komisi XI DPR yang meminta otoritas pajak untuk lebih gencar melakukan penagihan pajak menyusul saldo piutang pajak DJP yang sudah mencapai Rp72,36 triliun pada akhir 2019.
Suryo mengatakan DJP selalu mengupayakan penagihan piutang pajak setiap tahun. DJP juga mulai menerapkan Revenue Accounting System (RAS) secara nasional sejak 1 Juli 2020 sehingga data piutang pajak dapat update secara real time.
“Kami melakukan penagihan aktif berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP),” katanya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (26/8/2020).
Suryo menjelaskan penagihan piutang pajak dilakukan bertahap, diawali dengan menerbitkan surat teguran dan surat paksa kepada wajib pajak. Jika tidak berhasil, DJP mulai melakukan pemblokiran, penyanderaan, penyitaan aset, hingga melakukan lelang atas aset yang disita tersebut.
Menurutnya, saldo piutang pajak bisa bergerak dinamis karena terjadi penambahan maupun pengurangan. Penambahan piutang pajak di antaranya disebabkan penerbitan kohir oleh DJP atau penerbitan putusan dari pengadilan pajak dan putusan dari Mahkamah Agung yang telah inkracht.
Kemudian, saldo piutang akan berkurang jika wajib pajak membayar utang atau pengadilan memutuskan mengabulkan permohonan wajib pajak dan mengurangi utangnya atau dengan kata lain DJP kalah di pengadilan pajak atau MA.
Terkait dengan usia piutang pajak, Suryo menyebut piutang dengan usia sampai dengan 1 tahun mencapai sekitar Rp21 triliun, piutang berusia 1-2 tahun sekitar Rp12 triliun, dan piutang berusia 2-3 tahun sekitar Rp12 triliun.
Lalu, piutang berusia 3-4 tahun nilainya sekitar Rp8 triliun, usia 5 tahun sekitar Rp6 triliun, dan di atas 5 tahun mencapai Rp10 triliun. "Ini yang betul-betul kami coba maintain mana yang mau didahulukan dalam rangka penagihan aktif," ujarnya.
Menurut Suryo, DJP akan memanfaatkan data dalam RAS untuk mengategorikan piutang lancar, sedikit lancar, hingga macet. Pengelompokan itu penting karena DJP harus melakukan penagihan aktif yang dibatasi waktu sebelum akhirnya kedaluwarsa.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 yang mencapai Rp94,69 triliun atau naik 16,22% dari tahun sebelumnya.
Dalam LHP tersebut, BPK menilai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan masih memiliki kelemahan, baik pada Ditjen Pajak (DJP) maupun Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
Tak ketinggalan, BPK memberikan sejumlah rekomendasi untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Pada piutang perpajakan DJP, BPK menyoroti mengenai pemutakhiran sistem informasi piutang pajak. (rig)