Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN (P2 APBN) Tahun Anggaran 2019.kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna DPR, Kamis (16/7/2020). (tangkapan layar Youtube DPR RI)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani berkomitmen menindaklanjuti semua rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas berbagai temuan, termasuk mengenai kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Ditjen Pajak (DJP) pada 2019.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah sangat serius untuk terus mengupayakan agar angka koreksi piutang oleh BPK tersebut dapat semakin berkurang. Menurutnya, salah satu wujud dari komitmen itu tercermin dari langkah pemerintah memulai implementasi Revenue Accounting System (RAS) secara nasional mulai 1 Juli 2020.
"Dengan penerapan RAS ini diharapkan agar pemutakhiran dan validasi data piutang dilakukan pada setiap transaksi, sehingga saldo piutang dapat diketahui secara real time," katanya saat berpidato dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis (16/7/2020).
Sri Mulyani mengatakan pemerintah tetap harus menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK meskipun temuan tersebut tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2019.
Menurutnya tindak lanjut tersebut merupakan upaya agar sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap perundang-undangan semakin baik. Simak juga artikel ‘DJP: Hampir Seluruh Proses Bisnis Bakal Pakai Data TPA Modul RAS’.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK kembali menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 (audited) yang mencapai Rp94,69 triliun. Piutang itu naik 16,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp81,47 triliun.
BPK menilai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan masih memiliki kelemahan, baik pada Ditjen Pajak (DJP) maupun Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Sampai 31 Desember 2019, saldo piutang perpajakan pada DJP senilai Rp72,63 triliun, sedangkan pada DJBC senilai Rp22,06 triliun.
BPK pun menuliskan sejumlah rekomendasi untuk menindaklanjuti temuan tersebut, termasuk melanjutkan rekomendasi pada tahun sebelumnya. Pada piutang perpajakan pada DJP, salah satu yang masih disorot adalah mengenai pemutakhiran sistem informasi piutang pajak.
Sementara mengenai piutang perpajakan pada DJBC, BPK merekomendasikan kajian untuk revisi Perdirjen terkait penatausahaan piutang di lingkungan DJBC yang menyangkut dua hal. Simak artikel ‘Piutang Perpajakan Naik 16,22%, Ini Rekomendasi BPK’.
Pertama, penilaian piutang atas importasi barang dengan pelayanan segera (rush handling/RH) penerima fasilitas pembebasan yang belum diselesaikan kewajiban perpajakannya. Kedua, pencatatan piutang atas impor sementara yang masih terutang bea masuk dan pajak dalam rangka impornya.
Selain soal penatausahaan piutang perpajakan, Sri Mulyani juga berjanji menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK lainnya pada LHP atas LKPP tahun 2019. Misalnya, mengenai penyertaan modal pemerintah pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri, penatausahaan aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), serta penatausahaan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (kaw)