Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John L. Hutagaol memberikan pemaparan dalam sosialisasi.
JAKARTA, DDTCNews–Kementerian Keuangan menyelenggarakan sosialisasi multilateral instrument on tax treaty (MLI) pada hari ini, Rabu (22/1/2020). Acara ini merupakan hasil kerja sama Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) John L. Hutagaol menyatakan MLI merupakan instrumen baru yang diperkenalkan oleh komunitas internasional melalui Inclusive Framework yang beranggotakan kurang lebih 119 yurisdiksi termasuk Indonesia. Selain itu, Indonesia telah menandatangani konvensi MLI pada 2017.
“Indonesia telah menandatangani MLI di Kantor Pusat OECD di Paris dan sudah berkomitmen untuk menyelesaikan tax treaty yang tidak sejalan dengan kebijakan internasional. Melalui MLI, pemerintah bisa mengubahnya [tax treaty/P3B] secara sekaligus dan tidak perlu secara individual,” ujar John saat memberikan paparan awal.
Dengan MLI, perubahan P3B bisa langsung mengadopsi rencana aksi dalam proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD/G20. Ada 4 aksi yang diakomodasi dalam MLI ini, yaitu aksi ke-2 (neutralising the effects of hybrid mismatch arrangements), aksi ke 6 (prevention of tax treaty abuse), aksi ke-7 (permanent establishment status), dan aksi ke-14 (Mutual Agreement Procedure)
Lebih lanjut, John memaparkan dalam MLI setiap anggota berhak menentukan posisi dari keempat aksi BEPS tersebut. Dengan demikian, tiap yurisdiksi dapat menetapkan mana yang siap untuk diadopsi, mana yang perlu waktu atau disebut reservation, serta mana yang tidak disetujui atau tidak diadoposi.
“Masing-masing yuridiksi diberikan keleluasan untuk menentukan. Namun, ini baru langkah awal karena MLI akan terus berkembang,” ucap John. Lihat infografis 'Begini Posisi Indonesia dalam Multilateral Instrument'.
Secara lebih terperinci, John kemudian memaparkan perkembangan MLI di Indonesia. Pada tahap pertama, yaitu pada 2017, pemerintah Indonesia mendapatkan pendampingan dari World Bank dan OECD. Melalui proses diskusi tersebut, pemerintah Indonesia mengusulkan 47 P3B yang akan diperbarui.
Pertimbangan masuknya P3B dalam MLI terkait dengan hubungan ekonomi atau P3B perlu diamendemen karena terdapat kelemahan, seperti tidak adanya anti-avoidance rules untuk passive income atau tidak terdapat klausul tentang principle purpose test [PPT] untuk mencegah praktik treaty abuse atau treaty shopping.
Selanjutnya, P3B yang diusulkan tersebut akan didepositkan kepada OECD untuk disinkronisasi dan diharmonisasi. Pada kesempatan ini, John juga menjelaskan alasan mengapa OECD yang dipilih untuk menaungi MLI.
Hal tersebut lantaran pada G20 Leader Summit, OECD mendapatkan endorsement dari pemimpin G20 untuk membantu negara di dunia mengatasi permasalahan transparansi, worldwide tax avoidance and evasion bagi seluruh otoritas pajak di dunia serta solusi untuk mengatasi masalah aggressive tax planning.
Sebagai penutup, John menyampaikan sosialisasi terkait dengan MLI tidak hanya penting bagi para konsultan dan asosiasi konsultan, tetapi juga akademisi. Selain itu, John menyebut Indonesia termasuk bagian dalam negara pertama yang turut melaksanakan MLI.
“MLI baru pertama kali diperkenalkan di dunia dan kita termasuk yang pertama ikut melaksanakan ini. Sekali lagi semoga acara ini bermanfaat, untuk kita dapat melayani wajib pajak dengan baik,” imbuh John
Adapun sosialisasi ini turut dihadiri oleh Ketua Analisis BKF Wawan Juswanto dan Analis Perpajakan Internasional dari BKF Melani Dewi Astuti. Dalam kesempatan ini Wawan menyebut sosialisasi ditujukan untuk memberikan informasi kepada stakeholder. Sosialisasi juga akan dilakukan di perguruan tinggi. (kaw)