JAKARTA, DDTCNews - Pekan ini mestinya menjadi hari-hari terakhir bagi wajib pajak orang pribadi untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2024. Namun, pemerintah memutuskan untuk 'memundurkan' batas waktunya. Topik ini mendapat sorotan cukup banyak dari publik dalam sepekan terakhir.
DJP memutuskan untuk menghapus sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 29 yang terutang dan/atau penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi untuk tahun pajak 2024.
Dengan kebijakan ini, wajib pajak orang pribadi terbebas dari sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024 meskipun sudah terlewat tanggal jatuh tempo, yakni 31 Maret 2025. Namun, relaksasi ini hanya berlaku hingga 11 April 2025.
Melalui kebijakan tersebut, bisa disimpulkan bahwa batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi mundur ke 11 April 2025.
DJP menyatakan penghapusan sanksi administratif tersebut diberikan melalui tidak diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP).
Keputusan DJP ini diambil dengan menimbang batas akhir pembayaran PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi untuk tahun pajak 2024, yakni 31 Maret 2025, bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama. Seperti diketahui, periode libur dalam rangka Hari Suci Nyepi dan Hari Raya Idul Fitri cukup panjang, yakni sejak 28 Maret 2025 hingga 7 April 2025.
"Kondisi libur nasional dan cuti bersama tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024, mengingat jumlah hari kerja pada bulan Maret menjadi lebih sedikit," kata Dwi.
Masih soal pelaporan SPT Tahunan PPh, ada data menarik yang dituangkan oleh pemerintah dalam Laporan Kinerja DJP 2024. Pada 2024 lalu, tingginya kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban penyampaian SPT Tahunan ternyata turut disokong oleh non-wajib pajak (WP) yang wajib SPT.
Berdasarkan catatan Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian DJP, terdapat 4,05 juta non-WP wajib SPT yang melaporkan SPT Tahunan pada tahun lalu.
Pada periode yang sama, tercatat ada 11,36 juta WP wajib SPT yang menyampaikan SPT Tahunan kepada DJP.
Dengan jumlah WP wajib SPT ditambah non-WP wajib SPT yang menyampaikan SPT Tahunan sebanyak 15,42 juta WP dan total WP wajib SPT sebanyak 19,27 juta maka tingkat kepatuhan WP untuk SPT Tahunan 2023 sebesar 80%.
Bila non-WP wajib SPT tidak turut dipertimbangkan dalam penghitungan tingkat kepatuhan maka tingkat kepatuhan para WP wajib SPT sebesar 58,98%.
Selain 2 informasi di atas, masih ada topik lainnya yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, kinerja DJP dalam hal pengawasan dan pemeriksaan, batas waktu setor dan lapor SPT Masa PPN, hingga diangkatnya Dirjen Pajak Suryo Utomo sebagai Komisaris Utama BTN.
DJP memperoleh penerimaan pajak senilai Rp130,15 triliun dari kegiatan pengawasan kepatuhan material (PKM) tahun 2024.
Penerimaan dimaksud terdiri dari penerimaan yang berasal dari kegiatan pengawasan senilai Rp57,38 triliun, dari pemeriksaan Rp55,25 triliun, dari penegakan hukum senilai Rp2,03 triliun, dari penagihan senilai Rp14,71 triliun, serta dari edukasi dan pelayanan senilai Rp769,26 miliar.
"Realisasi penerimaan pajak dari PKM pada 2024 tercatat Rp130,15 triliun, tumbuh 30,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Capaiannya, sekitar 100,97% dari target Rp128,90 triliun,” tulis DJP dalam Laporan Kinerja DJP 2024.
Batas akhir penyetoran dan pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk masa pajak Februari 2025 mundur dari 31 Maret 2025 menjadi 8 April 2025.
Begitu pula dengan batas akhir pelaporan SPT Masa yang bertepatan dengan hari libur maka pelaporannya dapat dilakukan maksimal hari kerja berikutnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) PMK 81/2024.
Dengan demikian, adanya libur panjang Nyepi dan Idulfitri membuat batas akhir penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN jatuh pada 8 April 2025. Namun, pengusaha kena pajak (PKP) yang melaporkan SPT Masa PPN untuk masa pajak Februari 2025 lebih dari 8 April 2025 tidak akan dikenakan sanksi denda sepanjang dilaporkan maksimal 10 April 2025.
Pemeriksa pajak tidak memiliki kewajiban untuk memberikan berita acara terkait dengan pemeriksaan kepada wajib pajak yang sedang diperiksa.
Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan DJP Andri Puspo Heriyanto mengatakan berita acara sesungguhnya adalah dokumen untuk membuktikan bahwa pemeriksa telah melaksanakan prosedur pemeriksaan.
"Sebetulnya berita acara ini gunanya untuk membuktikan kepada pihak siapapun bahwa kami sudah melakukan prosedur tertentu. Ini adalah bentuk statement bahwa 'saya sudah melakukan prosedur ini, hasilnya seperti ini'," ujar Andri dalam sebuah webinar.
Dirjen Pajak Suryo Utomo resmi ditunjuk sebagai komisaris utama PT Bank Tabungan Negara (BTN). Suryo menggantikan komisaris utama sebelumnya, Chandra Hamzah.
Penunjukan tersebut disetujui oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BTN Tahun Buku 2024 yang digelar pada Rabu (26/3/2025).
Susunan pengurus di atas berlaku efektif setelah adanya persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas penilaian uji kemampuan dan kepatutan serta memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ambang batas (threshold) omzet PPh final UMKM dan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) yang sama-sama senilai Rp4,8 miliar dipandang sebagai salah satu penyebab utama dari timbulnya compliance gap dan policy gap dalam sistem pajak Indonesia.
Merujuk pada laporan World Bank bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, threshold PPh final UMKM dan PKP mendorong pelaku usaha untuk menjaga omzetnya sehingga tidak melebihi Rp4,8 miliar. Fenomena ini dikenal sebagai bunching effect.
"Threshold PPh dan PPN yang relatif tinggi turut berkontribusi terhadap besarnya compliance gap dan policy gap," tulis World Bank. (sap)